Memperkuat Negara

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

FRANCIS FUKUYAMA telah mengukir namanya sebagai se­orang pemikir ilmu sosial yang berpengaruh. Bukunya yang terkenal, The End of History and the Last Man (1992), adalah sebuah sintesis kreatif untuk menjelaskan arah perputaran sejarah pasca-komunisme. Dari segi substansi pemikiran, apa yang di ka­takan oleh Fukuyama memang bukan suatu hal yang orisinal, sebab pendapat tentang “sejarah yang berakhir” telah diawali oleh Hegel, sebagaimana ditafsirkan oleh Alexandre Kojève. Kekuatan Fukuyama lebih terletak pada kemampuannya menjelaskan dan menghubungkan tokoh‐tokoh besar yang ada dalam sejarah, seperti Plato, Hobbes, Locke, Hegel, dan Marx da­­lam satu kesinambungan pemikiran dan mengaitkannya dengan pergolakan sejarah di pengujung abad ke‐20.

Di tengah kecenderungan fragmentasi pengetahuan dan spesialisasi ilmu, kemampuan sintesis semacam itu memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi memang, dengan runtuhnya komu­nisme, orang tergerak untuk kembali melihat sejarah sebagai sebuah proses perubahan besar yang menyeret nasib manusia. Fukuyama mencoba memenuhi hasrat semacam itu dan mengantarkan kita kembali ke persoalan‐persoalan dasar dalam sejarah serta jawaban‐jawaban yang telah diberikan oleh pemikir‐pemikir besar di masa lalu. Singkatnya, lewat The End of History, ia telah memberi sumbangan penting dalam membantu kita memetakan masa depan, dengan mengacu pada elemen‐elemen dasar manusia, seperti kehendak untuk bebas, seba­gai motor penggerak perubahan.

Setelah The End of History, Fukuyama terus menulis. Dalam Trust (1995), ia mencoba menggunakan konsep modal sosial, social capital, untuk memahami lebih jauh persoalan dan keberhasilan pembangunan ekonomi di berbagai negara. Sementara itu, lewat The Great Disruption (1999) dan Our Post Human Future (2002), ia mengajak kita memahami b­agaimana proses perubahan sosial dan perkembangan tek­no­logi memengaruhi nasib dan masa depan manusia. Karya‐karya ini membuktikan minat Fukuyama yang luas dan kemampuannya yang mengagumkan untuk menyerap hasil‐hasil mutakhir perkem­bangan pemikiran dari berbagai disiplin ilmu.

Buku Memperkuat Negara agak berbeda dari karya-karya Fukuyama sebelumnya. Buku ini lebih merupakan eksplorasi awal penulisnya mengenai sebuah tema klasik, yang telah menjadi bahan tulisan dari berbagai filsuf dan ilmuwan politik di masa lalu. Tidak seperti dalam The End of History, dalam bu­ku ini Fukuyama tidak memasuki wilayah filosofis tentang ne­gara. la bahkan tidak membahas se­cara khusus berbagai teori tentang negara yang menjadi per­debatan ramai di kalangan ilmuwan sosial pada 1970‐an dan 1980‐an.

Sumbangan Fukuyama lewat Memperkuat Negara terletak pada ke­jernihan berpikirnya dalam melakukan konseptualisasi peran negara, di tengah berbagai kebingungan dalam memahami pergolakan peristiwa pada awal abad ke‐21, khususnya setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat serta terus berlanjutnya berbagai peristiwa menyedihkan, seperti perang sipil, bencana kelaparan, dan merebaknya penyakit AIDS di ber­bagai belahan dunia. Dalam melakukan semua ini, ciri khas tulisan Fukuyama bisa langsung terbaca: jelas, mutakhir, dan mampu merangkum substansi persoalan secara sederhana dari berbagai isu dan peristiwa yang kompleks.

***

Bagi Fukuyama, aksi‐aksi terorisme, penyebaran penya­kit, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil bukanlah hal‐ikhwal yang berdiri sendiri. Peristiwa‐peristiwa itu merupakan gejala politik di mana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat gagal menjalankan peran­nya. Menurutnya, gejala kegagalan semacam itulah yang men­ja­di an­caman terbesar bagi umat manusia pada awal abad ke‐21.

Sebagai jawaban terhadap kegagalan ini, Fukuyama berpendapat bahwa sudah saatnya kita memperkuat peran negara, dengan terlebih dahulu memahami perannya dalam masyarakat. Lebih jauh lagi, ia berkata bahwa pandangan kaum pro‐pasar pa­da 1980‐an mungkin agak simplistis. Waktu itu, sebagai reaksi atas merebaknya berbagai bentuk statisme, baik di negara-ne­gara maju maupun di negara‐negara sedang berkembang, kaum li­beral menyodorkan alternatif deregulasi, debirokratisasi, privati­­sasi, dan semacamnya. Alternatif semacam ini menjadi peng­ge­rak perubahan okonomi, yaitu dengan memangkas intervensi ekonomi negara ke tingkat yang minimal. Dalam beberapa hal, al­ter­natif ini membawa hasil‐hasil yang menggembirakan: per­tum­­buhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan integrasi pa­sar.

Namun dalam beberapa hal lain, ia justru membawa problematika baru: berkurangnya peran negara dalam ekonomi ju­ga terkait dengan merosotnya kapasitas negara untuk melaku­kan fungsinya yang memang perlu. Hal terakhir ini dapat me­nyebabkan gejala yang telah saya singgung di atas tadi, yaitu gejala kegagalan negara, dengan akibat yang menyedihkan.

Sepintas lalu, pendapat seperti ini, yang dilontarkan oleh penulis The End of History, terkesan aneh dan menentang tesis­nya sendiri di masa sebelumnya. Semula Fukuyama berkata bah­wa setelah rontoknya sistem komunis, paham liberalisme tidak lagi memiliki pesaing yang serius—dan ia mengatakan hal ini tidak dengan kesedihan dan penyesalan. Sekarang, dengan menyatakan bahwa negara harus diperkuat, kita mungkin bertanya: adakah Fukuyama sudah melupakan samasekali bukunya yang terdahulu? Apakah dia sekarang sudah menjadi pen­dukung statisme, bahkan sosialisme?

Bagi sebagian orang, semua itu mungkin sudah cukup untuk sampai pada kesimpulan bahwa pendulum sejarah kini te­lah bergerak, dari deregulasi ke rebirokratisasi, dari liberalisme pada 1980‐an ke statisme baru pada awal abad ke‐21.

Tapi betulkah? Sebelum terburu‐buru sampai pada kesimpulan sebesar itu, kita harus menyimak apa yang sesungguhnya dikatakan Fukuyama tentang peran negara. Sumbangan terpenting buku ini justru terletak pada konseptualisasinya yang jelas, singkat, dan sederhana menyangkut masalah besar ini. Dalam banyak hal, masalah inilah yang sering menjadi inti perdebatan seru di berbagai kalangan, namun yang anehnya jarang diuraikan secara jelas dan akurat.

Bagi Fukuyama, sebagaimana diuraikan dalam Memperkuat Negara, peran negara harus dipahami dalam dua dimensi, yaitu cakupan (scope) maupun kekuatan atau kapasitas (strength). Kedua hal ini merupakan alat analisis buat kita untuk membedah apa yang sesungguhnya dimaksud dengan peran negara, serta peran seperti apa yang kita anggap ideal untuk di­lakukannya.

Suatu negara yang kuat ditandai oleh kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebihan. Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Jika terjadi pelanggaran atau penentangan terhadap otoritas ini, ia mampu mengatasinya, kalau perlu dengan alat-alat pemaksa yang secara sah dikuasainya. Hanya dengan kekuatan semacam inilah negara mampu menjaga keamanan, ketertiban, kebebasan, serta—jika bersifat intervensionis—mampu mewu judkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Jika negara tidak mampu menjaga otoritas semacam ini, ia disebut sebagai negara lemah.

Baik negara yang kuat maupun yang lemah memiliki cakupan peranan yang berbeda, dan tidak otomatis berhubungan. Cakupan itu ditentukan dari seberapa jauh negara tersebut melakukan atau tidak melakukan kegiatan publik tertentu, seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, me­mungut pajak, melakukan intervensi dan regulasi ekonomi, membangun infrastruktur, dan semacamnya.

Negara minimal adalah negara yang hanya membatasi cakupan kegiatannya pada hal‐hal yang bersifat elementer, seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, penyediaan sarana infrastruktur dan pencetakan matauang. Sebaliknya, negara yang dirigis atau intervensionis ditandai oleh cakupan kegiatan yang ekspansif dan ambisius, seperti pe­milikan unit‐unit bisnis, penguasaan dan pengelolaan langsung sumber‐sumber ekonomi, pen­jaminan asuransi sosial, pen­ciptaan regulasi yang berlebihan atas segala kegiatan ma­sya­rakat, dan sebagainya.

Dimensi kedua peranan negara itulah yang sering menjadi sumber perdebatan antara kaum liberal dan kaum statis. Yang satu ingin agar negara hanya membatasi pada kegiatan‐kegiatan publik yang bersifat elementer, yang satu lagi ingin agar negara melakukan ekspansi kegiatan sejauh mungkin—walaupun mungkin tidak lagi bersifat total, sebagaimana yang ada pada sistem komunis.

Dalam Memperkuat Negara, Fukuyama tidak membahas terlalu jauh substansi dan kekuatan masing‐masing pilihan ini. Ia mengajak kita untuk lebih banyak memperhatikan masalah pe­nguatan kapasitas dan otoritas negara dalam melakukan perannya. Ia mengingatkan kita bahwa pada abad ke‐20 banyak ne­gara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin melakukan ekspansi ke­giatan ekonomi besar‐besaran, tanpa daya dukung ke­lembagaan yang memadai. Mereka sangat ambisius ingin mengatur be­gitu banyak aspek kehidupan, tetapi kemampuan pemerintahan mereka begitu lemah, baik karena ketidak­mampuan administratif maupun karena perilaku korupsi dan semacamnya. Akibatnya adalah kegagalan dan bencana kemanusiaan yang menyedihkan.

Buat saya, justru dengan cara ini Fukuyama sebenamya memberikan landasan konseptual yang lebih luas terhadap aspirasi kaum liberal. Kebijakan ekonomi pro‐pasar harus terus dilakukan bersamaan dengan penguatan negara, bukan pada cakupan kegiatannya, tetapi lebih pada kemampuannya dalam memainkan peran sebagai lembaga pengatur dan satu‐satunya pemegang kekuasaan pemaksa dalam masyarakat.

Dengan cara pandang semacam ini, kalau kita tarik pada tingkat grand theory, Fukuyama sebenarnya ingin memper tautkan dua tradisi besar: Machiavelli, Hobbes, dan Hegel di satu pihak, serta Adam Smith, Locke, dan Kant di pihak lain. Yang pertama mewakili tradisi pemikiran tentang negara, kekuasaan, dan otoritas, dan yang kedua adalah tokoh‐tokoh terdepan dalam gagasan tentang kebebasan, otonomi individu, dan moralitas. Kedua tradisi ini, walaupun bisa dibahas secara terpisah, sebenarnya terkait dan saling memperkuat. Kebebasan dan kesejahteraan ekonomi tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Sebaliknya, negara yang kuat tanpa menjamin kebebasan dan kesejahteraan warganya tidak akan mampu bertahan lama.

Memperkuat Negara tentu tidak bermaksud bicara terlalu jauh mengenai ide‐ide besar demikian. Tetapi sebagai sebuah upaya untuk mengerti dengan lebih jelas masalah negara, perannya, serta berbagai persoalan yang ada di awal abad ke-21, buku tersebut dapat menjadi bahan pengantar yang bermanfaat.

Jakarta, 1 Oktober 2005

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.