Merosotnya Third-worldism

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
 
DALAM BEBERAPA tahun terakhir kita melihat perubahan dramatis dalam hubungan Timur-Barat. “Kegagalan besar” komunisme dan dampak-dampaknya merupakan salah satu peristiwa politik dan ekonomi yang paling penting di abad kita.
 
Peristiwa penting lain dalam beberapa tahun terakhir ini adalah merosotnya Third-Worldism. Hal ini mengubah hubungan ekonomi antara Utara dan Selatan. Perubahan ini tidak dramatis—dan terjadi sepanjang 1980-an hampir tanpa ledakan besar, tanpa revolusi.
 
Perubahan ini memperluas lingkup pasar dunia—banyak negara Dunia Ketiga, yang terbiasa melindungi pasarnya, kini membuka pintunya dan menyatukan dirinya ke dalam kapitalisme global. Perubahan ini juga mengubah sikap banyak pemimpin Dunia Ketiga terhadap praktik-praktik bisnis dan akumulasi modal dunia.
 
Di Dunia Ketiga, kebijakan-kebijakan yang berorientasi ke luar sekarang ini menjadi umum. Dampak-dampaknya mungkin tidak sebesar runtuhnya komunisme. Namun jika pengalaman baru di hampir setengah penduduk dunia ini berhasil, seluruh dunia akan menjadi lebih baik.
 
Esai ini akan menjabarkan bagaimana Third-Worldism muncul dan mengapa ia merosot. Kegagalan Third-Worldism sebagai sebuah gagasan, atau sebuah “ideologi”, menurut saya, merupakan salah satu faktor yang menjelaskan kemerosotannya.
 
Munculnya Third-Worldism
Dunia Ketiga, sebagai sebuah gerakan internasional, mulai pada pertengahan 1950-an. Secara formal, ia dilancarkan oleh negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk mengungkapkan netralitas dan independensi mereka dari dua super power dunia yang saling bersaing. Dunia Ketiga ingin dilihat sebagai sebuah kekuatan pada dirinya sendiri, dengan kepentingan-kepentingannya sendiri.
 
Apa yang mendasari gerakan ini adalah kekecewaan yang semakin besar pada sejarah pasca-kolonialnya: Dunia Ketiga melihat bahwa kemiskinan dan ketakberdayaannya terus berlanjut. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan mereka, banyak negara Dunia Ketiga dipenuhi dengan optimisme bahwa mereka akan segera ke luar dari kemiskinan mereka. Dekade 1950-an membuktikan bahwa optimisme ini hanyalah ilusi: alih-alih modernisasi ekonomi, apa yang dialami negara-negara ini adalah kemerosotan ekonomi.
 
Dengan kata lain, Dunia Ketiga merupakan sebuah gerakan yang dilancarkan bukan hanya untuk mengungkapkan netralitas politik, melainkan juga—dan ini yang lebih penting— untuk menemukan cara untuk ke luar dari persoalan-persoalan kemiskinan dan ketidakberdayaan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
 
Dalam hal ini, apa yang diinginkan Dunia Ketiga tersebut adalah suatu penjelasan yang sistematis tentang kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka yang berkanjang. Ia memerlukan suatu “ideologi” untuk menjelaskan “mengapa kemerdekaan politik mereka tidak melepaskan mereka dari berbagai kesulitan mereka” (Bissel, 1990: 24). Selain itu, dalam hal hubungannya dengan negara-negara lain, para pemimpin Dunia Ketiga membutuhkan suatu agenda internasional yang jelas yang bisa menarik perhatian dunia pada berbagai penderitaan yang dipikul oleh rakyat mereka.
 
Jawabannya ditemukan dalam analisis teori-teori depen-densia dan sistem-dunia. Teori-teori ini muncul dalam panggung intelektual dunia pada saat Dunia Ketiga tersebut perlu menegaskan sejarah pasca-kolonialnya dan tempatnya di arena internasional.
 
Terdapat beberapa varian dalam aliran dependensia dan juga dalam aliran sistem-dunia tersebut.67 Bagi sebagian pemikir, seperti Andre Gunder Frank, misalnya, satu-satunya cara bagi Dunia Ketiga untuk memecahkan berbagai persoalannya adalah dengan melancarkan sebuah revolusi menyeluruh untuk melepaskan perekonomiannya dari perekonomian imperialistik negara-negara Utara yang kaya. Bagi sebagian yang lain, seperti Prebisch dan Wallerstein, revolusi tidak diperlukan karena nasib Dunia Ketiga bisa ditingkatkan jika sistem tatanan perekonomian internasional yang ada bisa diubah dan diperbarui kembali.
 
Namun, terdapat gagasan-gagasan tertentu yang sama-sama diyakini oleh teori-teori ini. Bagi aliran dependensia—yang mendasarkan banyak asumsinya terutama pada gagasan-gagasan Marx dan Lenin—kapitalisme global, dengan Utara sebagai intinya, menciptakan hubungan ketergantungan yang, dalam rumusan Gunder Frank, hanya meningkatkan keterbelakangan Dunia Ketiga. “Sistem kapitalisme [global],” tulis Paul Baran (1957: 249), “yang pernah menjadi suatu mesin perkembangan ekonomi yang begitu kuat [di Utara], telah berubah menjadi beban yang sangat besar bagi kemajuan [di Dunia Ketiga]”. Dunia Ketiga, menurut aliran dependensia, secara sistematis dihisap dan dihalangi untuk berkembang oleh Utara yang kaya, kapitalis, industrial. Perdagangan internasional, bantuan ekonomi, dan perusahaan-perusahaan multinasional merupakan mekanisme-mekanisme atau lembaga-lembaga yang melayani kepentingan Utara untuk merampok kekayaan Dunia Ketiga. Paling banter, apa yang dilakukan Utara untuk membantu “mengembangkan” Dunia Ketiga adalah semata-mata memperkaya beberapa kelompok orang yang, pada gilirannya, menghisap warga Dunia Ketiga yang lain.
 
Bagi aliran sistem-dunia, struktur sistem ekonomi internasional secara inheren menghalangi Dunia Ketiga untuk menjalankan perdagangan yang menguntungkan dengan Utara. Aliran ini berpendapat bahwa syarat-syarat perdagangan antara Utara dan Dunia Ketiga cenderung semakin menguntungkan yang pertama dan merugikan yang kedua.68 Demikianlah Dunia Ketiga dipaksa untuk mengekspor komoditas-komoditas primer dalam jumlah yang sangat besar untuk membiayai impor barang-barang manufakturnya dari Utara. Dengan kata lain, pertukaran yang tidak seimbang ini, menjebak Dunia Ketiga dalam lingkaran keterbelakangan ekonominya.
 
Dengan demikian, bagi aliran dependensia dan sistem-dunia ini, apa yang harus dilakukan Dunia Ketiga adalah melindungi dirinya sendiri sejauh mungkin dari Utara yang imperialistik atau dari ketidakseimbangan perdagangan internasional. Secara domestik, pemerintah Dunia Ketiga harus melindungi pasarnya dan memajukan industri nasionalnya dengan mengambil langkah-langkah proteksionis dan dengan menjalankan kebijakan-kebijakan pengganti-impor. Secara internasional, Dunia Ketiga harus bersatu untuk “memaksa” Utara menerima aturan-aturan dan prosedur-prosedur internasional baru yang menguntungkan atau setidaknya tidak merugikan kepentingan ekonomi Dunia Ketiga.
 
Sebagaimana yang telah kita lihat, teori-teori ini tampak memberikan suatu penjelasan yang kurang lebih menyeluruh tentang persoalan-persoalan dasar yang dihadapi oleh Dunia Ketiga terkait dengan kemiskinannya dan ketidakberdayaannya dalam hubungan ekonomi internasional. Teori-teori ini memberikan berbagai penjelasan yang saling terkait dan yang bisa diubah menjadi tindakan politik dan program ekonomi.
 
Selain itu, teori-teori ini bisa memuaskan hasrat Dunia Ketiga untuk memahami dirinya sendiri sebagai entitas yang dihisap, dan yang kemiskinan dan ketidakberdayaannya bukan disebabkan oleh dirinya sendiri melainkan oleh orang lain. Karena itu, dengan menerima teori-teori ini para pemimpin politik Dunia Ketiga bisa menghubungkan kemiskinan dan ketidakberdayaan negaranya dengan bekerjanya kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi global.
 
Semua itulah alasan mengapa teori-teori ini diterima luas oleh para pemimpin Dunia Ketiga. Teori-teori ini menjadi tulang-punggung teoretis dari apa yang seringkali disebut sebagai Third-Worldism, yang umum terdapat di Dunia Ketiga sepanjang 1960-an dan 1970-an.
 
Tentu saja terdapat beberapa negara, terutama di Asia Timur dan Tenggara, yang tidak menerima gagasan Third Worldism ini dari awal (misalnya, Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, Thailand). Namun, gagasan ini tersebar luas mulai dari India dan Indonesia hingga Brasil, Argentina, dan Tanzania— di beberapa negara (misalnya India, Brasil, dan Tanzania) gagasan ini diterapkan sepenuhnya; di beberapa negara yang lain (misalnya Indonesia dan Malaysia) gagasan ini umumnya digunakan sebagai retorika oleh para penguasa untuk memperluas dukungan politik dalam negeri dan memperkuat posisi internasionalnya.
 
Jadi, selama 1960-an dan 1970-an, di Asia, Afrika dan Amerika Latin, kebijakan-kebijakan seperti nasionalisasi, pengganti-impor, dan redisribusi ekonomi berdasarkan garis populis dan anti-kapitalis berlaku. Menurut John Grimmon dari The Economist (13/11/1993), untuk menjalankan kebijakan-kebijakan itu pemerintahan-pemerintahan Dunia Ketiga mengambil risiko defsit bujet yang sangat besar dan menetapkan angka pertukaran yang tinggi.
 
Secara internasional, panggung utama Third-Worldism adalah forum-forum dan konferensi-konferensi PBB. Nada yang diungkapkan oleh para pemimpin Dunia Ketiga dalam forum-forum dan konferensi-konferensi ini seringkali konfrontatif.
 
Dalam hal ini, usaha-usaha Dunia Ketiga untuk meningkatkan kepentingannya terwujud: UNCTAD dibentuk; Utara menerima tawaran untuk menambahkan seksi-seksi perdagangan dan pembangunan baru dalam kesepakatan GATT; dan perlakuan istimewa dijalankan oleh semua negara maju (Spero 1977). Semua ini sangat substansial, meskipun bagi sebagian besar negara Dunia Ketiga hal itu dianggap kurang memunculkan hasil-hasil yang memuaskan. Seksi baru pada GATT tersebut, misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi Dunia Ketiga untuk menjual produk-produk mereka di Utara dan menutup lebih banyak pasar domestiknya karena, untuk alasan pembangunan, mereka diizinkan untuk tidak dikenakan penerapan prinsip non-diskriminatif.
 
Merosotnya Third-Worldism
Pada akhir 1970-an dan sepanjang 1980-an keadaan mulai berubah. Pada masa ini menjadi lebih jelas bahwa Third-Worldism tersebut tidak membawa Dunia Ketiga ke mana-mana. Berhadapan dengan berbagai kesulitan ekonomi dalam negeri, banyak negara Dunia Ketiga mulai melakukan reformasi dan internasionalisasi perekonomian mereka.
 
Selain itu, selama masa ini Dunia Ketiga terpaksa menerima kenyataan bahwa, alih-alih konfrontasi, kerjasama dengan Utara lebih realistik untuk memecahkan persoalan kemiskinan dan ketakberdayaannya.
 
Sebelum kita bergerak lebih jauh membahas perubahan ini, penting untuk diingat bahwa Third-Worldism, sebagai sekumpulan pengetahuan, pada dasarnya tidak meyakinkan. Popularitasnya yang begitu luas di Dunia Ketiga, sebagaimana yang dijelaskan Peter Berger (1986), pada dasarnya bukan karena keunggulan-keunggulan teoretisnya, melainkan karena alasan-alasan di luar lingkup wacana akademis. Peter Berger dengan jelas mengemukakan alasan “non-akademis” dari popularitas Third-Worldism ini:
 
Jika akar-akar keterbelakangan tersebut dicari di luar masyarakat sendiri, seseorang seringkali terhindarkan dari introspeksi-diri yang menyakitkan (dan memalukan), dan seseorang mendapatkan kambing-hitam eksternal yang sangat memuaskan. Kombinasi motif politik dan psikologis ini cukup memadai untuk menjelaskan popularitas pandangan Third-Worldism ini di Dunia Ketiga (Berger, 1986: 128).
 
Sebagai sekumpulan pengetahuan, Third-Worldism tidak meyakinkan karena banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Third-Worldism mengatakan bahwa jika seorang kapitalis New York atau London mengakumulasi modalnya di Dunia Ketiga, ia melibatkan dirinya dalam sebuah proses imperialistik. Ia hanya merampok kekayaan Dunia Ketiga. Namun bagaimana jika seorang kapitalis New York mengumpulkan modalnya di Eropa? Bagaimana jika seorang kapitalis Eropa atau Singapura berinvestasi di New York, apakah itu imperialistik? Lebih jauh, bagaimana dengan hubungan di antara negara-negara nonkapitalis—jika perekonomian Kuba atau Korea Utara sangat bergantung pada perekonomian Uni Soviet atau Cina (sebagaimana yang terjadi sebelum komunisme runtuh), apakah ini juga merupakan suatu hubungan ketergantungan, dan jika ya, mengapa hal ini terjadi tanpa kapitalisme? Baik Wallerstein, Prebisch, maupun Gunder Frank tidak dapat memberikan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan penting ini.
 
Bagaimana dengan Jepang? “Jika memang ada korban imperialisme,” kata Berger, “itu adalah Jepang” (1986: 128). Keberhasilan modernisasi pertamanya terjadi selama masa Meiji—hal ini merupakan hasil langsung dari agresi imperialis, ketika Kommodor Perry pada 1853, dengan todongan senjata, memaksa rakyat Jepang untuk membuka pintu mereka bagi penetrasi kapitalis. Mukjizat kedua Jepang terjadi setelah Perang Dunia II, di bawah “kolonialisme” militer Amerika, dan di bawah bantuan langsung dan berskala-besar ekonomi Amerika. Mengapa hal ini terjadi? Jika hubungan ketergantungan memang mencegah suatu negara dari modernisasi ekonomi, bukankah kita sekarang seharusnya melihat Jepang sebagai salah satu negara termiskin di dunia?
 
Selain pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab ini, Third-Worldism tidak meyakinkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan karena terdapat banyak cacat di dalamnya. Ia melihat hubungan dagang sebagai suatu hubungan zero-sum. Ia juga mendorong mentalitas anti-bisnis dan anti-perdagangan di kalangan politisi dan perencana ekonomi di Dunia Ketiga.mIa menjadikan orang-orang di Dunia Ketiga gagal mengakui bahwa di zaman kita perdagangan internasional dan pasar internasional merupakan potensi yang menunggu untuk dimanfaatkan dan dijelajahi dengan kreativitas kita.
 
Third-Worldism menyesatkan orang-orang di Dunia Ketiga dengan membuat mereka melihat persoalan kemiskinan mereka terutama sebagai persoalan merosotnya perdagangan komoditas primer mereka. Ia gagal menunjukkan pada Dunia Ketiga bahwa persoalan utama bagi masa depannya adalah bagaimana mengubah perekonomiannya dari produsen komoditas primer menjadi produsen barang-barang manufaktur (lihat Gilpin 1987: 288). Dengan kata lain, Third-Worldism menanamkan pesimisme, bukan optimisme.
 
Secara teoretis, harga produk-produk primer cenderung menurun dari waktu ke waktu, bukan terutama karena monopoli di Utara atau karena “hubungan imperialistik antara pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan”, melainkan karena perubahan teknologis dan perkembangan industri. Karena itu, merosotnya perdagangan komoditas primer hendaknya tidak terlalu dicemaskan sebuah negara—apa yang seharusnya ia lakukan adalah berkonsentrasi dalam meningkatkan daya saing globalnya dan membuka dirinya pada dunia untuk mengembangkan basis teknologi dan industrinya.
 
Cacat lain dari Third-Worldism bisa dilihat pada anjurannya untuk melakukan nasionalisasi dan penggantian-impor. Kedua langkah ini, jika sepenuhnya dijalankan, hanya akan sangat memperbesar campur-tangan birokrasi. Hal ini akan mencip­takan sebuah perekonomian yang sangat tidak efsien. Dalam hal penggantian impor, tidak ada penjelasan yang meyakinkan yang diberikan oleh Third-Worldism. Selain itu, seluruh perusahaan pengganti-impor pada dasarnya sangat mahal bagi konsumen maupun pemerintah—yang terakhir ini harus mengambil risiko mengalami defsit bujet yang sangat besar untuk membayar perusahaan ini. Terdapat kasus-kasus di mana Third-Worldism membantu memberikan ‘telur emas’ ke beberapa negara Dunia Ketiga. Sebagai contoh adalah keberhasilan Brasil, Argentina, dan Meksiko pada 1960-an dan awal 1970-an. Dalam periode itu GDP per kapita negara-negara ini meningkat lebih dari 5% per tahun. Namun, keberhasilan ini ternyata tidak bertahan lama: pada 1980-an perekonomian negara-negara ini runtuh (lihat Grimmond 1993; Crook 1989). Dalam periode ini utang mereka me­ningkat tajam, infasi melambung, dan GDP per kapita merosot.69
 
Bagi sebagian besar negara Dunia Ketiga yang percaya pada gagasan Third-Worldism, ‘telur emas’ yang dinikmati oleh Meksiko, Argentina dan Brasil selama 1960-an dan awal 1970-an tersebut tidak pernah datang. Sebagian besar dari negara tersebut tidak pernah mengalami suatu periode pertumbuhan ekonomi yang cepat. Sebaliknya, andil keseluruhan mereka dalam ekspor barang-barang manufaktur dunia menurun.70
 
Selain itu, bagi semua negara ini, akhir 1970-an dan 1980-an benar-benar merupakan suatu periode yang sangat buruk: karena kenaikan harga minyak dan resesi global yang terjadi tiba-tiba (pada awal 1980-an), perekonomian mereka terpuruk dalam krisis yang sangat dalam. Bagi negara-negara ini, periode ini seringkali disebut “dekade yang hilang”.
 
Krisis inilah yang menyebabkan Third-Worldism menjadi kurang populer. Negara-negara Dunia Ketiga, pada awal 1980-an, mulai melakukan reorientasi diri dan mengambil langkah-langkah yang tidak sesuai dengan Third-Worldism. Dunia Ketiga mulai lebih membuka perekonomian mereka terhadap investasi asing dan mengubah orientasinya dari perekonomian pengganti-ekspor ke perekonomian yang lebih berorientasi ekspor.
 
Selain krisis ekonomi ini, ada satu faktor lagi yang tidak boleh dilupakan, yang juga menjelaskan mengapa Third Worldism menjadi semakin tidak populer. Pada awal 1980-an, menjadi semakin jelas bahwa apa yang terjadi di Asia Timur dan Tenggara—di mana Third-Worldism tidak pernah dianggap sebagai suatu gagasan yang bagus—adalah suatu mukjizat ekonomi.
 
Selama 1960-an dan 1970-an, sementara sebagian besar perekonomian Dunia Ketiga terseok-seok, negara-negara Asia Timur dan Tenggara ini mengalami angka pertumbuhan yang menakjubkan (sekitar 6-7% per tahun pada 1970-an, dan 8-9% pada paruh kedua 1980-an). Negara-negara ini, yang secara konsisten menjalankan kebijakan berorientasi ekspor, memperlihatkan kepada dunia bahwa Selatan atau Dunia Ketiga bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari perdagangan dan hubungan dekat dengan kapitalisme global. Mukjizat negara-negara ini pada dasarnya merupakan contoh tentang betapa menyesatkannya Third-Worldism (Harris 1986; Bissel 1990; Berger 1986).
 
Masa Depan
Pada 1990 Third-Worldism tidak lagi populer di Dunia Ketiga. Sebagian besar negara penting di Dunia Ketiga kini mereformasi perekonomian mereka. Di sini kebijakan-kebijakan seperti deregulasi, devaluasi, serta debirokratisasi kini dijalankan untuk mengikis warisan-warisan lama Third-Worldism. Kini mereka lebih membuka diri kepada dunia.
 
Beberapa negara (seperti Meksiko) sangat berhasil dalam menjalankan reformasi—perekonomian mereka bisa ke luar dari krisis 1980-an dan mulai kembali tumbuh pada awal 1990-an. Sebagian negara yang lain (seperti negara-negara di Asia Selatan) masih harus menunggu bahwa langkah-langkah mereka dalam meninggalkan Third-Worldism membuahkan hasil. Bagi pemerintahan di Dunia Ketiga, reformasi adalah sebuah pertaruhan. Jika hal ini tidak segera memperbaiki standar hidup orang-orang di jalanan, pemerintah akan ditumbangkan.
 
Reformasi akan menjadi kematian secara politik jika rakyat menganggap bahwa hal itu hanya meningkatkan beban kehidupan mereka. Third-Worldism, dalam satu atau lain bentuk, akan kembali jika pertaruhan reformasi ini gagal.
 
Daftar Rujukan
1. Spero, Joan Edelman (1977), The Politics of International Economic Relations, Martin’s Press.
2. Harris, Nigel (1986), The End of the Third World, Penguin.
3. Gilpin, Robert (1987), The Political Economy of International Relations, Princeton.
4. Berger, Peter (1986), The Capitalist Revolution, Basic Books.
5. Bissel, Richard E. (1990), “Who Killed the Third World?”, The Washington Quarterly, Autumn.
6. Kennedy, Paul (1993), preparing for the twenty-frst century, Random House.
7. Pollins, Brian (1988), “International Power and Unequal Exchange”, Quarterly Report, OSU, Mershon Center,      Winter, Vol. 12, No. 3.

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.