Nasib Partai Golkar

Gambar oleh Vural Yavaş dari Pixabay

KASUS BULOGGATE II dan penahanan sementara Akbar Tandjung dapat dilihat sebagai ujian terhadap Partai Golkar. Pada Pemilu 1999, dalam situasi terjepit dan dicerca dari kiri dan kanan, partai ini masih mampu meraih dukungan 24 juta suara atau sekitar seperempat dari keseluruhan warganegara yang diberi hak untuk memilih.

Prestasi semacam itu bukan sesuatu yang bisa dipandang dengan sebelah mata. Suka atau tidak, jutaan rakyat telah menitipkan aspirasi mereka pada partai ini, dan dalam sistem demokrasi titipan aspirasi rakyat itulah yang harus menjadi pedoman dalam menghadapi setiap perkara.

Karena itu, dalam ujian menghadapi kemelut sekarang ini, Partai Golkar harus mampu mengedepankan masa depannya sebagai partai untuk membela kepentingan jutaan pendukungnya, bukan masa depan dan nasib individu-individu tertentu, betapapun penting dan berjasanya mereka selama ini.

Tentu sangatlah wajar jika para pemimpin dan massa Partai Golkar membela pemimpinnya yang berada dalam situasi terjepit. Apalagi, sosok seorang Akbar Tandjung memang mudah membangkitkan simpati. Mantan Mensesneg di era Presiden Habibie ini pada dasarnya adalah seorang yang santun dan bersahabat, dengan kata-kata yang selalu terukur dan emosi yang senantiasa terjaga. Demikian pula, sebagai politisi ia telah terbukti mampu mengemudikan biduk partainya melewati berbagai kesulitan politik sebagai The New Order’s ruling party, dan muncul sebagai pemenang kedua dalam pemilu yang relatif bebas, terbuka dan representatif.

Namun, semua ini tidak boleh menghapuskan garis demarkasi antara kepentingan yang pribadi dan bersifat individual serta kepentingan yang sepenuhnya mengatasi unsur-unsur pribadi, yaitu kepentingan partai dalam jangka panjang.

Terlepas dari cara pandang kita dalam melihat kasus Bulog-gate II, kader-kader serta pengurus Partai Golkar memang dituntut dari sisi moral untuk membela pemimpin mereka sampai titik terjauh, dalam koridor hukum yang berlaku. Dalam situasi krisis dan tak pasti seperti sekarang ini, ekspresi dan perjuangan yang dilandasi oleh rasa setia kawan adalah sebuah nilai plus tersendiri yang dapat membangkitkan inspirasi pada banyak orang.

Namun pada saat yang sama mereka juga harus mampu melihat bahwa apapun yang telah dan akan terjadi pada seorang Akbar Tandjung, partai tetap harus hidup dan mempertimbangkan pilihan-pilihan politiknya secara rasional.

Dalam hal terakhir ini, pilihan-pilihan yang ada pada tokoh-tokoh yang menentukan perjalanan Partai Golkar pada dasarnya sudah cukup jelas. Di satu pihak, karena luka, kemarahan, dan emosi sesaat, mereka bisa mengambil strategi bumi hangus atau strategi oposisi permanen terhadap pemerintah yang berkuasa saat ini, dan khususnya terhadap Presiden Megawati dan PDI Perjuangan sebagai basis politiknya. Dalam hal ini mereka, misalnya, dapat mengumumkan penarikan kader-kader mereka dari Kabinet Gotong-Royong yang dipimpin Megawati-Hamzah Haz.

Di pihak lain, mereka dapat menjadikan kemelut yang menimpa partai dan pimpinan mereka sekarang sebagai momentum untuk memperbaiki dan menyempurnakan partai, sekaligus untuk merebut simpati banyak orang. Dalam hal ini mereka dapat menyerukan bahwa mereka mendukung proses hukum sepenuh-penuhnya dan tetap ingin membantu pemerintah saat ini dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada lewat kader-kader mereka yang andal di lembaga eksekutif, seperti Jusuf Kalla, atau lewat proses legislasi yang sehat di parlemen.

Hanya pilihan kedua inilah yang sesuai dengan kepentingan jangka panjang Golkar sebagai partai politik. Bahkan lebih jauh lagi bisa dikatakan bahwa pilihan semacam ini bukan hanya baik bagi Partai Golkar, tetapi juga baik bagi proses transisi demokrasi di negeri kita.

Mengapa? Berdasarkan hasil Pemilu 1999, kita tahu bahwa secara alamiah masyarakat politik Indonesia adalah sebuah entitas yang sangat terpilah, a highly fragmented polity, di mana tidak ada satu pun kekuatan yang mampu mendominasi arena politik. Hal inilah yang hingga sekarang menjadi persoalan terbesar dalam menciptakan stabilitas permanen dan membangun struktur penentuan publik yang efektif dalam proses transisi kita.

Kesulitan demikian hanya dapat diatasi dengan munculnya sebuah koalisi dominan dari dua partai besar yang memiliki ideologi yang kurang lebih sama, atau setidaknya tidak berbeda secara diametral. Bagi saya, dalam jangka panjang, koalisi dominan yang dapat memenuhi tuntutan semacam itu dan mendominasi panggung politik hanya mungkin dilakukan oleh PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Kalau sekarang ini keduanya membangun basis koalisi yang kukuh, maka sebenarnya sebuah persoalan politik yang fundamental telah terselesaikan, sebab telah tercipta sebuah kekuatan dengan suara yang melampaui 50 persen+1 di parlemen.

Bahwa sekarang semua itu belum atau masih sulit terjadi, saya kira kita semua sudah mengerti dengan baik. Tetapi di situ pulalah soalnya: jika strategi bumi hangus atau strategi oposisi permanen yang dipilih oleh tokoh-tokoh yang mengemudikan Partai Golkar dalam menghadapi kemelut saat ini, kemungkinan koalisi demikian pasti akan semakin menjauh. Dalam hal ini Partai Golkar akan menjadikan PDI-P dan Presiden Megawati sebagai bete noire, seteru yang perlu dilawan serta dipatahkan terus-menerus. Namun, jika strategi kedua, atau strategi kompromi dan full-disclosure yang dipilih, kemungkinan pembentukan koalisi dominan tadi masih tetap terbuka.

Dan pada hemat saya, justru hal itulah yang saat ini harus dilakukan, jika pertimbangannya adalah kontribusi Partai Golkar yang positif terhadap proses transisi demokrasi di negeri kita. Dalam perjalanan hidup individu maupun partai politik, kemelut dan krisis seringkali tak dapat dihindarkan. Yang harus dilakukan adalah menjadikan kemelut itu sebagai batu loncatan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar. Kemelut harus dilihat bukan sebagai proses kehancuran, tetapi sebagai sesuatu yang mendewasakan.

10 Maret 2002

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.