NU Pasca Gus Dur

Photo by Mufid Majnun on Unsplash

Muktamar NU yang akan digelar pada Maret depan bakal diwarnai suasana syahdu karena masih cukup dekat dengan memori meninggalnya tokoh besar mereka: KH Abdurrahman Wahid. Forum pertemuan terbesar kaum Nahdliyin itu ditunggu banyak orang, khususnya karena muktamar itu bakal memilih Ketua PBNU, yang akan memimpin organisasi ini selama lima tahun ke depan. Di tengah keterpurukannya, NU sekarang memerlukan seorang pemimpin baru, yang visioner, punya karakter kuat, serta mampu memainkan peran seperti Gus Dur memainkan perannya pada era 1980an.

Muktamar NU yang akan digelar pada Maret depan bakal diwarnai suasana syahdu karena masih cukup dekat dengan memori meninggalnya tokoh besar mereka: KH Abdurrahman Wahid. Forum pertemuan terbesar kaum Nahdliyin itu ditunggu banyak orang, khususnya karena muktamar itu bakal memilih Ketua PBNU, yang akan memimpin organisasi ini selama lima tahun ke depan. Di tengah keterpurukannya, NU sekarang memerlukan seorang pemimpin baru, yang visioner, punya karakter kuat, serta mampu memainkan peran seperti Gus Dur memainkan perannya pada era 1980an.

Kepemimpinan dalam tubuh NU adalah faktor penting yang dapat menentukan hitam-putihnya organisasi yang didirikan pada 1926 ini. Reputasi NU di tingkat nasional dan internasional sangat bergantung kepada siapa yang menakodai organisasi ini. Pada zaman Soekarno dulu, NU dikenal sangat dekat dengan kekuasaan karena para tokohnya, khususnya Idham Chalid dan KH Saifuddin Zuhri, dikenal sebagai orang yang sangat dekat dengan Bung Karno.

Begitu juga, pada masa-masa Soeharto, NU mengambil langkah berseberangan dengan rezim Orde Baru itu, karena para pemimpinnya memilih sikap demikian. Sikap antagonis terhadap pemerintah ini baru berubah ketika kepemimpinan NU mengalami perubahan, salah satunya setelah pergantian kepengurusan dalam Muktamar Situbondo pada 1984.

Muktamar Situbondo dicatat dengan tinta emas dalam sejarah NU, bukan hanya karena sejak saat itu NU memutuskan untuk “Kembali ke Khittah,” tapi karena Situbondo berhasil memilih seorang pemimpin yang kemudian mengubah sejarah NU yang tak pernah lagi sama dari era-era sebelumnya. Muktamar Situbondo begitu fenomenal karena forum itu berhasil memilih Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah.

Era Keemasan. Pada pertengahan tahun 1980an, Gus Dur adalah ikon intelektualisme Indonesia. Dia tak hanya dikenal sebagai seorang tokoh NU, tapi juga sebagai aktivis HAM, pembela demokrasi, dan pejuang kebebasan. Tulisan-tulisannya tersebar di koran-koran dan majalah utama negeri ini. Pandangan-pandangannya bergulir dari satu forum ilmiah ke forum ilmiah lain. Dengan latar belakang itulah terpilihnya Gus Dur menjadi Ketua PBNU menawarkan banyak harapan.

Dan benar saja. Gus Dur membayar lunas semua harapan itu. Selama kepemimpinannya, Gus Dur mengubah citra dan perjalanan NU dari sebuah organisasi Islam yang “kolot” dan “terbelakang” menjadi sebuah organisasi Islam yang sangat dinamis. Gus Dur lah yang memperkenalkan NU ke dunia internasional. Gus Dur lah yang mendorong para sarjana dan peneliti asing menulis tentang organisasi yang kerap disalahpahami orang ini. Selama rentang kepemimpinannya, sudah ratusan artikel dan lusinan buku ditulis para sarjana Barat tentang NU. Imbasnya, NU menjadi organisasi yang dikenal di dunia internasional.

Gus Dur melakukan banyak sekali perubahan di dalam tubuh NU. Dia tak hanya mengundang para peneliti dan sarjana asing untuk mengenal lebih dekat lagi NU. Dia juga menjadi pi-ar public relation yang sangat piawai untuk dunia pesantren. Dalam salah satu tulisannya di majalahPrisma, Gus Dur mengatakan bahwa pesantren adalah subkultur dari Islam Indonesia. Gus Dur memperkenalkan pesantren dan dunia tradisional ke masyarakat kota dengan gaya ilmiah dan meyakinkan.

Namun, sumbangan terbesar yang dilakukan Gus Dur selama dia menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah adalah kegigihannya dalam membangun ruang-ruang kebebasan dalam tubuh NU. Gus Dur lah yang menyemai kebebasan berpikir dalam NU. Gus Dur lah yang menjadi pelindung anak-anak muda NU yang berpikiran bebas dan berusaha melakukan pembaruan pemahaman keagamaan dalam Islam. Pada era Gus Dur lah generasi muda NU secara leluasa belajar tentang demokrasi, HAM, dan arti toleransi.

Kemunduran.mat disayangkan bahwa apa yang sudah dirintis Gus Dur dalam NU tidak memiliki kelanjutan, terutama dalam bidang intelektual dan pemikiran keagamaan. Pengganti Gus Dur, Hasyim Muzadi, tampaknya lebih senang bermain politik ketimbang memikirkan pengembangan pemikiran dan pemberdayaan intelektualitas NU di dalam.

Bisa dipahami bahwa ranah politik menyimpan sumber daya finansial yang besar. Lewat politik, para pemimpin NU bisa dengan mudah mengumpulkan kekayaan pribadi. Inilah yang agaknya terjadi pada era kepemimpinan Hasyim.

Dua kali Hasyim mencoba keberuntungannya dalam dunia politik, dan dua kali pula ia gagal. Pada Pemilu 2004, dia mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden, mendampingi Megawati Soekarno Putri. Dia kalah melawan pasangan SBY-JK yang lebih kuat. Pada Pemilu 2009, Hasyim mencoba keberuntungannya lagi dengan membawa gerbong NU mendukung Jusuf Kalla menjadi presiden. Lagi-lagi dia kalah dan secara langsung maupun tidak langsung mempermalukan NU.

Namun, yang paling destruktif yang dilakukan Hasyim adalah kampanye negatifnya terhadap kebebasan berpikir yang tumbuh di kalangan anak-anak muda NU. Dalam berbagai ceramahnya, Hasyim mengecam anak-anak muda didikan Gus Dur yang mengembangkan pemikiran keagamaan secara bebas. Perseteruannya dengan Gus Dur tampaknya menjadi alasan mengapa dia begitu memusuhi anak-anak muda NU pengusung Islam Liberal, Islam yang diperkenalkan Gus Dur sejak tahun 1980an.

Kembalikan Kejayaan. Dengan perbandingan semacam itu, banyak orang berharap akan ada perubahan dalam NU. Muktamar di Makassar Maret depan bakal menjadi penentu apakah NU akan mengubah dirinya dari keterpurukan menjadi organisasi yang penuh dinamika seperti ketika dipimpin Gus Dur dulu? Atau warga Nahdliyin pada dasarnya lebih suka dipimpin oleh para politisi ketimbang intelektual seperti Gus Dur?

Tidak ada alternatif lain bagi warga NU kecuali memilih seorang pemimpin yang visioner, punya karakter, dan mencintai kebebasan. Jika ingin mengulangi kejayaannya, tidak ada pilihan bagi warga NU kecuali memilih pemimpin yang setara dengan Gus Dur, atau paling tidak mewarisi karakter, visi, dan determinasi yang pernah dimiliki Gus Dur.

NU kini berada pada suatu zaman yang memerlukan penyikapan matang dan bijaksana. Seperti warga dunia lainnya, warga NU kini hidup pada zaman yang berubah dengan cepat. Mereka berada pada era internet, TV kabel, ponsel, dan batas-batas negara yang semakin kabur. Yang diperlukan warga NU adalah pemimpin yang mengerti bahasa mereka dan sekaligus menguasai bahasa zaman yang berubah dengan cepat itu.

Pemimpin yang diperlukan NU sekarang adalah seorang yang menguasai ilmu-ilmu agama, menguasai ilmu-ilmu sosial, pandai berbahasa Inggris, punya wawasan luas, dan mampu bergaul dengan berbagai kalangan di tingkat nasional maupun internasional. Hasyim Muzadi telah gagal memainkan peranan ini. Dan kegagalan ini tidak semestinya diulang lagi.

Jika warga NU benar-benar merindukan Gus Dur dan menginginkan kembalinya kejayaan NU, mereka harus mampu mencari seorang tokoh yang dekat dengan pemikiran Gus Dur, mampu mengikuti perkembangan zaman, bisa bergaul dengan beragam orang, dan tulus dalam membawa gerbong NU ke kancah peradaban. Saya yakin, mereka punya calon itu.

Luthfi Assyaukanie
Deputi Direktur Freedom Institute, Jakarta.

Sumber: "http://www.jurnalnasional.com""
Jurnal Nasional Jakarta | Thu 07 Jan 2010 by : Fransiskus Saverius Herdiman

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.