Pemberontakan Daerah dan Demokrasi (“Rejoinder” buat Asvi Warman Adam)

DALAM SATU TULISAN belum lama ini, saya mencoba menelusuri beberapa kemungkinan yang bisa menggagalkan eksperimen demokrasi kita saat ini (Akankah Sejarah Berulang, Kompas, 17/8/00). Dalam melakukan hal itu saya melihat kembali ke masa lalu dan mencari faktor-faktor yang menguburkan eksperimen demokrasi pada 1950-an. Saya ingin memetik pelajaran dari sejarah dan dengan itu menyumbangkan pikiran, betapapun kecilnya, agar kita tidak terjerumus ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
 
Tulisan ini ditanggapi Asvi Warman Adam (Demiliterisasi Sejarah Indonesia, Kompas, 2/9/00). Dalam tanggapannya, Asvi tidak membahas tulisan saya secara utuh. Dia tidak ingin berbicara soal demokrasi dan problem demokratisasi secara umum. Yang disoroti sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini adalah masalah pemberontakan daerah, yaitu gerakan Permesta dan PRRI.
 
Asvi keberatan jika pemberontakan daerah dimasukkan sebagai salah satu faktor untuk menjelaskan rontoknya eksperimen demokrasi pada kurun 1950-an. Buat dia, pemerintah Soeharto-lah yang selalu berpendapat begitu. Karena itu, siapapun yang berbicara dengan nada sama, termasuk saya, berarti sudah termakan propaganda Orde Baru.
 
Atas tanggapan itu, saya ingin mengatakan beberapa hal. Namun sebelumnya, saya ingin menyinggung suatu hal yang sebenarnya tidak penting secara substansial, tetapi perlu dikemukakan untuk menjernihkan sebuah masalah yang cukup sering mengganggu dalam perdebatan sejarah di negeri kita.
 
Pandangan yang mengatakan, pemberontakan daerah yang dilakukan gerakan Permesta dan PRRI adalah aksi-aksi di luar hukum, berbahaya, dan berhubungan erat dengan gagalnya eksperimen demokrasi, sebenarnya bukanlah monopoli Soeharto dan Orde Baru semata. Banyak sejarawan dan ilmu politik mengatakan hal yang hampir sama, tentu dengan sudut pandang dan motivasi berbeda-beda. Misalnya, WF Wertheim, sejarawan Belanda, dalam bukunya yang terbit sebelum Orde Baru lahir (1959), Indonesian Society in Transition, malah menjelaskan, gerakan PRRI dan Permesta adalah kudeta dan aksi ilegal.
 
Hal itu juga diutarakan Herbert Feith. Dalam tulisannya, “Dynamics of Guided Democracy”, yang terbit pada 1963 dalam sebuah buku yang disunting Ruth McVey, Indonesia, Feith lebih jauh lagi menjelaskan, pemberontakan daerah itulah yang menjadi salah satu dari dua faktor mengapa Soekarno dan Jenderal Nasution begitu cepat dapat menguburkan sistem demokrasi parlementer pada 1958-1959.
 
Tentu saja kita boleh tidak setuju dengan pandangan Wertheim dan Feith. Meski banyak dikenal sebagai ilmuwan serius dan tekun, keduanya bukan pemegang kebenaran terakhir. Namun demikian, ketidaksetujuan itu harus berdasarkan pada argumen dan bukti-bukti sejarah yang kuat, bukan dengan argumentum ad hominem. Orang pasti akan terkesima jika kita berkata, Wertheim dan Feith keliru sebab pandangan mereka sudah termakan propaganda Orde Baru.
 
Kini, soal yang lebih substansial. Saya menganggap, pemberontakan daerah yang dimotori gerakan Permesta dan PRRI menciptakan krisis integritas negara. Negara kehilangan kewibawaan karena terciptanya dualisme otoritas dan para pemimpin partai serta aparat militer mengambil hukum di tangan mereka sendiri. Krisis semacam itulah, salah satunya, yang memancing Soekarno dan tentara untuk lebih memainkan peran politik mereka secara langsung dengan mendeklarasikan situasi darurat, dan kemudian menguburkan sistem demokrasi parlementer. Pendapat saya ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Herbert Feith itu.
 
Bagi saya, bila kita lihat dengan saksama apa yang sesungguhnya terjadi pada kurun 1950-an, penolakan Asvi terhadap fakta bahwa pemberontakan daerah menciptakan krisis integritas negara menjadi agak membingungkan. Coba kita lihat gerakan Permesta. Diproklamirkan pada 2 Maret 1957, gerakan ini memang tidak ingin melepaskan diri dari republik. Walau begitu, para pemimpinnya, misalnya Komandan Militer Indonesia Timur Letkol Ventje Sumual, memaksakan berlakunya situasi darurat, dan dengan itu mengambil-alih pemerintahan secara langsung di daerah yang ada di bawah kekuasaannya. Pada saat itu wilayah kekuasaan Komando Militer Indonesia Timur tersebar dari Sulawesi hingga Bali serta seluruh kepulauan di Nusa Tenggara dan Maluku. Artinya, otoritas politik di hampir setengah wilayah republik yang sah direbut dengan paksa secara sepihak, dan dibarengi ancaman bersenjata.
 
Apakah itu bukan berarti krisis integritas negara? Bayangkan bila sekarang seluruh Panglima Kodam di Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku bersatu serta melakukan hal yang sama. Mereka mengangkat senjata, memproklamasikan situasi darurat, dan menyatakan tidak lagi tunduk pada pemerintah yang sah di bawah Presiden Abdurrahman Wahid. Bisakah sistem demokrasi menjawab tantangan yang demikian besar? Bila semua pemimpin regional, militer atau bukan, menerapkan cara yang sama dalam memperjuangkan kepentingan mereka, tidakkah situasi yang tercipta akan menggiring kita semua ke jurang perpecahan dahsyat yang merontokkan republik yang sudah dibangun dengan begitu banyak pengorbanan ini?
 
Bila contoh itu masih belum meyakinkan, mari kita lihat contoh berikutnya, yaitu pemberontakan PRRI. Gerakan yang muncul setahun setelah Permesta ini justru lebih dahsyat lagi, sebab ia dimotori tidak hanya oleh petinggi militer regional di Sumatra, tetapi juga oleh pentolan-pentolan politik nasional yang ikut melahirkan republik kita seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Prof. Sumitro Djojohadikusumo, serta didukung bantuan senjata oleh salah satu negeri adikuasa, yaitu Amerika Serikat.
 
Gerakan ini membubarkan pemerintahan lokal dan salah satu pemimpinnya, yaitu Letkol Husein, Komandan Militer Sumatra Tengah, memberi ultimatum pada pemerintah pusat. Mereka memberi waktu lima hari bagi pemerintah di Jakarta untuk membubarkan kabinet yang dipimpin Ali Sastroamidjojo, dan menggantikannya dengan sebuah kabinet profesional yang dipimpin Hatta atau Sultan Hamengku Buwono IX. Bila ultimatum ini tidak dipenuhi, mereka mengancam akan mendirikan pemerintahan sendiri di Sumatra, yang mereka sebut pemerintahan revolusioner.
 
Bila hal demikian tidak dapat disebut sebagai krisis yang membahayakan konstitusi dan mengancam integritas negara sebagai sebuah lembaga yang mengatur pembagian wewenang dan otoritas yang ada dalam sebuah masyarakat, terus terang saya tidak tahu harus berkata apa lagi. Kabinet Ali Sastroamidjojo saat itu adalah kabinet hasil Pemilu 1955 yang demokratis. Jadi pemerintah di Jakarta waktu itu, dengan segala kekurangannya, sudah sah untuk disebut sebagai pemerintahan yang dipilih oleh rakyat secara bebas. Tetapi, tokoh- tokoh PRRI tidak sabar menunggu pemilu berikutnya untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Sebaliknya, dengan ancaman bersenjata, dan dengan meminta bantuan senjata dari pihak asing, mereka ingin memaksakan kehendak serta menjatuhkan pemerintah pusat.
 
Sekali lagi, bayangkan bila hal demikian terjadi sekarang. Peran Masyumi pada 1950-an, katakanlah, dimainkan Poros Tengah saat ini, di bawah pimpinan Amien Rais. Mereka gagal memaksa Soekarno dan Hatta membubarkan kabinet, dan karena itu mereka ke Sumatra dan bergabung dengan para pimpinan militer di sana. Dari Padang kedua kubu ini lalu membubarkan pemerintahan sipil dan memberi ultimatum pada Soekarno disertai ancaman bersenjata dan ancaman untuk mendirikan negara di dalam negara.
 
Harus kita sebut sebagai apa peristiwa semacam itu? Apa yang akan diakibatkannya? Apakah gerakan demikian harus dipandang hanya sebagai gejolak lokal dan hasil pertikaian internal tentara yang tidak memiliki konsekuensi luas dan mendalam? Jika pemberontakan demikian terjadi sekarang, apakah negara sebagai sebuah kesatuan hukum dan teritorial memang tidak akan terancam?
 
Saya mengerti bahwa terhadap semua itu Asvi masih bisa berkata, pemberontakan daerah terjadi sebab tokoh-tokoh di daerah memiliki alasan kuat untuk melakukannya. Dalam hal ini Asvi menyinggung soal ketimpangan pusat dan daerah, atau Jawa dan luar Jawa. Asvi seolah ingin berkata, karena kuat dan sahnya alasan demikian, gerakan Permesta dan PRRI yang ingin mengoreksi berbagai ketimpangan yang ada antara pusat dan daerah, tidak dapat disebut sebagai pemberontakan yang mengancam negara dan menjatuhkan demokrasi.
 
Dengan cara ini, meski tidak dijelaskan secara eksplisit, Asvi ingin mengesampingkan pertimbangan mengenai metode penyelesaian masalah dan lebih menekankan soal substansi isu yang diperjuangkan para pentolan Permesta dan PRRI.
 
Bagi saya, pada tingkat tertentu, hal ini bisa diterima. Terhadap pemerintahan seperti dipimpin Hitler, Stalin, dan Pol Pot, misalnya, pemberontakan bersenjata menjadi sah dan perlu secara moral. Dalam hal ini, mereka yang memberontak terhadap Hitler di Jerman, Stalin di Uni Soviet, dan Pol Pot di Kamboja, tidak dapat dikatakan sebagai penghancur negara. Justru sebaliknya, mereka harus disebut patriot sejati, sebab tingkat kejahatan pemerintahan Hitler, Stalin, dan Pol Pot memang sudah luarbiasa besarnya.
 
Pertanyaan saya sekarang, tindakan apa dari pemerintahan Ali Sastroamidjojo yang sudah bisa digolongkan sebagai kejahatan yang mendekati tindakan Hitler di Jerman, misalnya, sehingga pemberontakan bersenjata PRRI sudah bisa dianggap sah secara moral? Pada periode 1950-an, adakah ketimpangan Jawa dan luar Jawa yang sudah sedemikian besar sehingga mekanisme-mekanisme politik yang demokratis tidak lagi bisa mengatasinya? Bila ketimpangan itu ada, apakah ia bagian rencana yang disengaja dari pemerintah pusat, atau ia terjadi bukan karena kesalahan siapapun?
 
Bagi saya, jawaban dari semua pertanyaan itu sudah jelas.
Dalam soal ketimpangan ekonomi Jawa dan luar Jawa, misalnya, tidak ada indikator ekonomi pada periode itu yang mengatakan, persoalan yang ada sudah sedemikian parah. Waktu itu kita semua hampir sama miskinnya. Memang, dalam periode 1952-1959 ada kecenderungan yang menunjukkan, secara relatif tingkat kesulitan ekonomi lebih meningkat di luar Jawa ketimbang di Jawa. Tetapi hal ini bukan kesalahan kabinet Ali Sastroamidjojo dan bukan pula bagian dari rencana jahat siapapun.
 
“Bonanza” ekonomi yang datang dari Perang Korea berakhir pada 1952, dan setelah itu pasar dunia bagi barang andalan ekspor kita yang banyak berasal dari luar Jawa, menurun drastis. Salah satu andalan ekspor ini adalah karet mentah, yang umumnya berasal dari Sumatra. Pada 1952 ekspor kita mencapai Rp2,5 miliar, tetapi pada 1958 angka ini hanya Rp1,7 miliar. Jadi tidak heran jika tokoh tokoh di Sumatra mengeluh karena penghidupan rakyat di sana menjadi lebih susah (inilah sebenarnya yang menjadi sebab mengapa penyelundupan yang dilakukan tokoh-tokoh militer, merebak di daerah saat itu, lalu menambah ketegangan yang ada dengan pemerintah pusat).
 
Selain itu, kalaupun ada kesalahan yang bisa ditimpakan kepada pemerintahan di Jakarta, mungkin dapat ditemukan pada kebijakan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Selama delapan tahun (1952-1959) nilai dollar dipatok (satu dollar AS = Rp11,47), tanpa mempertimbangkan fuk­tuasi ekonomi internasional. Pada saat kinerja ekonomi menurun, nilai tukar rupiah secara riil (bukan nilai patokan pemerintah) ikut menurun. Sialnya, penurunan nilai tukar ini tidak diiringi peningkatan permintaan akan ekspor kita di luar negeri, seperti yang saya singgung di atas. Jadi, pengekspor produk-produk pertanian yang umumnya ada di luar Jawa seperti sudah jatuh dan tertimpa tangga pula.
 
Namun, betapapun kelirunya kebijakan semacam itu, ia bukan suatu hal yang harus diatasi dengan pemberontakan bersenjata dan pembentukan negara di dalam negara. Kesalahan semacam itu adalah kesalahan kebijakan biasa yang sangat umum dilakukan pemerintah di mana pun. Resep terbaik untuk mengatasinya adalah persuasi dalam mekanisme demokratis, bukan ultimatum dan aksi pemberontakan terhadap negara.
 
Jadi, kalaupun saya mencoba mengikuti alur pemikiran Asvi, saya tetap tidak menemukan alasan mengapa pemberontakan daerah pada kurun 1950-an harus “diromantisir” dan dianggap sah. Buat saya, landasan perjuangan Permesta dan PRRI keliru secara moral, dan metode penyelesaian persoalan yang mereka gunakan sangat berbahaya dan mengancam integritas negara secara sangat serius. Apa jadinya negeri kita jika setiap kesalahan kebijakan di Jakarta harus disusul dengan pembubaran pemerintahan lokal serta pemberlakukan undangundang darurat secara sepihak di Makassar dan Padang?
 
Semua ini saya katakan bukan untuk membuka lagi luka lama atau untuk mengecilkan tokoh-tokoh penting seperti Mohammad Natsir, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, dan Sjafruddin Prawiranegara. Secara pribadi saya amat menghargai tokoh tokoh ini, meski saya juga menyadari kekurangan mereka. Saya hanya ingin agar kita menatap sejarah sebagaimana adanya, dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi.
 
18 September 2000

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.