Penghargaan Achmad Bakrie 2003

Untuk lebih mendorong terciptanya lingkungan yang kondusif bagi kepeloporan di bidang pemikiran sosial-budaya dan kesusastraan, Freedom Institute memberikan penghargaan tahunan yang diberi nama Penghargaan Ahmad Bakrie. Usaha ini merupakan bagian dari tujuan Freedom Institute yang lebih besar, yakni memajukan kehidupan pemikiran di Indonesia. Untuk tahun pertama (2003) Penghargaan Ahmad Bakrie diberikan kepada Sapardi Djoko Damono (bidang kesusastraan) dan kepada Ignas Kleden (bidang sosial-budaya). Acara pemberian penghargaan diberikan tiap bulan Agustus.

Untuk bidang kesusastraan, penghargaan tahun ini (2003) diberikan kepada Sapardi Djoko Damono karena penyair yang juga cerpenis ini dipandang telah melakukan pengabdian untuk bidang ini selama lebih dari empatpuluh tahun. Dan bukan hanya itu, pengarang kumpulan puisi Duka-Mu Abadi (1969) ini juga dianggap telah mengkristalkan dan memperbarui tradisi puisi lirik di Indonesia. Puisinya adalah sebuah puncak pencapaian bahasa Indonesia.

Di bidang sosial-budaya, penghargaan diberikan kepada Ignas Kleden karena pengarang buku Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1988) ini dianggap telah memberikan sumbangan penting dalam bidang kritik epistemologis terhadap ilmu sosial. Pemikir sosial-budaya yang juga seorang kritikus sastra ini telah menulis berbagai esai sejak dekade 70-an. Alasan lainnya adalah bahwa penulis dengan latar belakang filsafat ini sejak tahun 70-an dianggap telah melakukan kritik penting terhadap kebudayaan dengan memakai perspektif ilmu sosial.

SAPARDI DJOKO DAMONO
telah menulis puisi tanpa putus sejak tak kurang dari empat dekade lalu sampai hari ini. Tapi ia bukan hanya setia kepada perpuisian sebuah bidang yang di negeri ini nyaris tak. dihidupi oleh apapun juga. selain gairah penyaimya sendiri. la juga mengkristalkan dan memperbarui traddisi puisi lirik Indonesia. Seperti haInya Chairil Anwar, sajak sajak Sapardi bukan hanya menarik generasi yang Iebih muda untuk menulis puisi, tapi menyebarkan semacam. gaya dominan dalarn khazanah sastra kita. Puisi Sapardi adalah sebuah puncak pencapaian bahasa Indonesia.

Serangkaian kumpulan puisi Sapardi mencerminkan bagaimana seorang pencipta menyegarkan bahasa seraya menemukan gaya pribadinya sendiri. Kumpulan puisinya yang pertama, Duka Mu Abadi (1969) adalah upaya melanjutkan warisan Amir Harnzah dan Chairil Anwar, dua pengawal puisi modem Indonesia. Setelah bahasa dan sastra sekadar menjadi bagian dari lautan slogan dan jargon pada paruh pertarna 1960 an, Sapardi merebut kembali kata sebagai milik paling asasi dalarn penciptaan dan kebebasan.

Duka Mu Abadi adalah titik kelahiran kembali puisi lirik Indonesia. Di sana, khususnya dengan bentuk kuatrin dan sonet, si pehyair mendedahkan kembali pengalaman kongkret manusia, sang aku, yang berhadapan dengan alam., Tuhan, cinta, kehidupan, dan maut   pengalaman yang pada masa sebelumnya diringkus oleh rumus rumus yang 'besar" dan abstrak. Bentuk sajaknya yang amat berdisiplin clan berima itu justru dibangunnya dengan frasa frasa yang seringkah menggantung, tak selesai: paradoks indah yang membawakan kesunyian, keterpecahan dan ambiguitas.

Kita bersua dengan momen momen pencerahan kecil, epifani, dalam. kumpulan puisi Mata Pisau (1974). Dengan citraan visual yang penuh tenaga, sipenyair menciptakan kembali alam semesta sebagai mikrokosmos yang lain, semacam keheningan afternatif terhadap dunia yang sudah ditaklukkan ilmu dan mesin. Sajak sajak yang ringkas itu menunjukkan bahwa penyair kelahiran Surakarta, 1940, ini bisa membuat lukisan yang sempuma dengan sesedikit mungkin kata. la. melakukan subversi terhadap kemubaziran yang selama ini menjadi ciri umurn dalam (pemakaian) bahasa Indonesia.

Sapardi kemudian menulis puisi yang sepintas lalu berbentuk prosa sebagaimana terlihat dalam bagian akhir Mata Pisau, dan lalu pada Akuafium (1974) dan Perahu Kertas (1983). Eksperimen yang penuh risiko ini berhasil menciptakan tamsil tamsil modem yang menggoda pembaca dengan ambiguitas maupun intelektualisme, kesederhanaan maupun kejamak tafsiran. Dengan membuat parodi terhadap kisah kitab suci, dongeng perwayangan, kehidupan panggung, pemandangan sehari hari, dan pengalaman masa kecil, Sapardi menjadikan puisi bukan lagi sekadar bentuk, tapi kualitas, sukma, dan bahkan cara memandang dunia.

Bila pada masa berikutnya Sapardi menulis lagi puisi lirik tapi dengan bahasa yang jauh lebih sederhana, katakanlah bahasa sehari hari, maka itulah upayanya untuk menarik pembaca kembali sebagai penghasil makna yang aktif. Ada komunikasi sejati yang ingin dibangunnya agar si pembaca mencari kata 11 yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu," sebab selama ini pembaca hanyalah konsumen yang terjajah oleh parnflet, berita, pidato, dan Man. Demikianlah kita membaca kumpulan puisinya SihirHujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Ayat ayat Api (2000), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002).

Sementara cerita cerita mahapendek Sapardi yang dikumpulkannya dalam Pengarang Telah Matf (2001) dan Membunuh Orang Gila (2003) dapat kita pandang sebagai kelanjutan puisi prosanya. Tapi bila di sini anekdot menjadi lebih terang benderang, ini hanya berarti bahwa Sapardi pun menjadi altematif yang tajam bagi para pengarang Indonesia yang berlarat larat dengan tokoh, latar, alur, dan isi seni.

Karir sastra Sapardi Djoko Damono menunjukkan bahwa seorang pencipta. dapat mengolah sumber sumber budaya asal dengan sebaik baiknya hanya apabila ia dengan bebas dan rileks menjelajahi dan menyerap pelbagai lingkungan budaya yang lain. Kesetiaan penyair yang juga dosen dan penerjemah ini membuktikan bahwa sastra. Indonesia bisa berdiri kokoh apabila cakrawalanya menyambung ke khazanah sastra. dunia. Demikianlah kebebasan berkreasi berarti kesetiaan terhadap sastra sekaligus penolakan terhadap fundamentalisme kebudayaan sendiri. Para pengamat yang jitu akan mudah mengenali "kompleks gaya Sapardi"

DJOKO DAMONO dalam khazanah sastra. kita: diksi yang membentuk pencitraan visual yang kuat, disiplin bentuk yang mengandung rumpang sekaligus rima dalam puisi lirik, dan anekdot yang penuh lompatan rasa dan pikiran dalam puisi prosa. Inilah "kompleks gaya" yang niscaya mesti dipelajari sebagai sejenis dasar perpuisian oleh para penyair yang datang kemudian   atau mesti dilawan, agar mereka beroleh gaya pengucapan sendiri.

Penyair adalah ia yang bermain main dengan kata. Bila kata sudah begitu ditaklukkan dalam kehidupan sehari hari, sekadar menjadi kendaraan bagi pesan dan ajaran yang kering kerontang, maka di tangan penyair Sapardi Djoko Damono kata kernbali sebagai organisme yang punya nalar dan nalurinya sendiri. Dengan ketrampilannya yang tinggi, permainan dengan kata pun dengan sehat berujung ke tata kata yang baru.

Kepenyairan adalah ketrampilan dan disiplin menghidupi bahasa. Demikianlah sang penyair bukan hanya mengubah cara pandang kita terhadap dunia, tapi juga mewujudkan dunia itu sendiri. Sapardi mengajak kita melaksanakan kebebasan dalam artinya yang asasi: melahirkan realitas baru dengan cara bermain main sekaligus bertarung dengan anasir kebudayaan yang paling hakiki, yakni bahasa. Sapardi Djoko Damono, karena itu, pantas menerima Penghargaan Achmad Bakrie 2003 untuk Kesusastraan.

Epistemologle dan Kritik Kebudayaan

IGNAS KLEDEN adalah penulis dengan minat yang besar di bidang sosial budaya yang sejak dekade 70 an banyak bergulat dengan dua hal pokok: menjalankan kritik epistemologis terhadap ihnu ilmu sosial dan melakukan kritik terhadap terhadap kebudayaan dengan memakai perspektif ilmu ilmu sosial. la juga adalah seorang esais pemikir yang menyampaikan pikirannya dengan menelaah karya dan pemikiran sejumlah intelektual dan sastrawan terkemuka, mulai Soedjatmoko hingga Goenawan Moharnad, dari Pramoedya Ananta Toer hingga Joko Pinurbo. Di samping itu, Ignas adalah seorang kolumnis yang selalu tergerak untuk menanggapi pelbagai peristiwa dan isu sosial politik konternporer Indonesia, tidak dengan menampilkan sudut pandang yang ilmiah dan berjarak, melainkan sudut pandang yang menekankan empati subjektif terhadap pokok persoalan.

Esai esainya yang banyak dimuat di majalah Plisma dan juga terekam dalarn bukunya sikap ilmiah dan Kritik Kebudayaan (LP3ES, 1988) secara jelas menunjukkan surnbangannya yang sangat berarti dalarn bidang krifik epistemologis terhadap ilmu sosial. Yang menjadi fokus utamanya bukanlah bagaimana mengoperasionalisasikan. suatu teori dan pernikiran sosial tertentu dan bagaimana agar output dari operasionalisasi tersebut bisa relevan dan berguna untuk masyarakat luas, melainkan bagaimana. menguji landasan episternologis dari pernikiran sosial tersebut dengan cara merneriksa secara krifis klairn kesahihan (validity claim) dari pernikiran tersebut, yang biasanya hanya diandaikan begitu saja secara taken for granted.

Menurut Ignas Kleden, hasrat yang menggebu untuk memenuhi relevansisosial dari suatu kerja ilmiah tapi tanpa disertai upaya yang sungguh sungguh untuk melembagakan suatu tradisi krifik epistemologis yang bersifat otonorn justru akan merugikan kehidupan sosial karena pernikiran yang tidak teruji dapat saja meluas secara leluasa. Karena itulah dalarn pandangannya, kalau kita hendak mengembangkan ilmu pengetahuan, pada saat yang sama kita juga harus memperkokoh tradisi krifik epitemologis dan menjadikannya ranah yang otonorn dari tuntutan relevansi sosial.

la berpendapat, kalau kita mau mengernbangkan ilmu sosial di Indonesia, kita fidak bisa hanya berkutat pada ilmu terapan dan riset kebijakan saja melainkan juga harus menumbuhkan kornunitas intelektual yang terus menerus mengernbangkan dunia epistemologis yang otonorn, tanpa perlu takut dicap "elifis" atau "menara gading".

Kalau kita melihat latar belakang disiplin dari mana ia bertolak, ia pada dasarnya adalah sorang filosof, atau sekurang kurangnya berlatar akadernis filsafat. Akan tetapi, pusat perhatiannya selama ini bukanlah terutama disiplin filsafat. Bentuk tulisannya pun fidak bisa dikategorikan sebagai traktat filsafat yang kering, melainkan esai.

Dalarn menulis, ia banyak menggunakan bentuk esai karena dengan. itu ia merasa lebih mendapatkan orisinalitas dalarn berekspresi. Dalarn satu esainya di Prisma (1988), ia menyatakan: "Berbeda dengan ilmu dan filsafat yang berpretensi menjadi tertib dan berdisiplin, maka esai adalah tulisan yang nakal dan kocak. Ilmu dan filsafat berusaba untuk runtut dan. beralur, sementara esai sengaja meloncat loncat dan jenaka. Menulis ilmu dan filsafat adalah melakukan organisasi dan reorganisasi susunan vas atau bentuk tarnan.

Menulis esai adalah merangkai kembang liar yang dipetik sendiri di lereng bukit atau diambil dari tengah sernak belukar. Yang pertarna berpedornan pada rasionalitas manusia, yang kedua berpedoman pada kebebasan manusia. Kata kunci pada ilmu dan filsafat adalah 'penelitian kritis'. Kata kunci pada. esai adalah 'kesaksian yang simpatik'.

Filsafat menguji ide berdasar rasionalitas, ilmu berdasar objektivitas dan esai berdasar orisinalitas."Ignas Kleden tidak hanya dikenal sebagai esais dan kolumnis sosial polifik. Ia juga adalah kritikus sastra, seperti terlihat dalarn esai esainya tentang para penyair dan novelis Indonesia, yang dikurnpulkan dalarn buku Sastra Indonesia dan Saya (akan terbit). Dengan esai esainya yang merupakan sumbangan penting bagi kritik sastra Indonesia, ia membuka mata kita bahwa kritik sastra. bisa diperkaya dengan perspektif filsafat dan ilmu sosial.

Tapi menggunakan filsafat atau ilmu sosial untuk menelaah sastra tidak lantas menghasilkan analisis yang ruwet dan gelap; bukan pula suatu pernaksaan wacana yang bersifat ilmiah, analifis dan diskursif terhadap wacana yang mengutamakan orisinalitas, imajinasi dan kreativitas.

Esai esai sastranya adalah eksperimen penulisan kritik sastra yang menarik karena keberhasilannya menerapkan pernikiran filsafat dalarn mernbaca sastra, dengan tetap mempertahankan gaya penulisan yang jernih, argurnentatif dan rigorous. Atas dasar itu, Freedom Institute memilih Ignas Kleden sebagai penerima. Penghargaan Achmad Bakrie 2003 untuk bidang pernikiran sosial.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles