Perlukah Setneg dan Setkab Dipisah?

SALAH SATU masalah penting yang belum terselesaikan dalam tubuh pemerintahan Presiden Megawati saat ini adalah masalah pemisahan dua lembaga vital, yaitu Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Masalah ini tertunda-tunda terus dan, setelah lima bulan, kontroversi di sekitarnya masih bisa kita baca di berbagai media massa.

Hal itu patut disayangkan karena kinerja pemerintahan Megawati dalam banyak hal bergantung pada kecepatan, prestasi kerja, serta perilaku tokoh-tokoh yang menduduki posisi utama dalam dua lembaga penting itu. Kalau tiga atau empat kementerian tidak berfungsi dengan baik, Megawati mungkin masih bisa memerintah dengan efektif. Tapi, kalau Setneg/Setkab macet, tertutup, atau berjalan dengan agendanya sendiri, kepemimpinan Megawati pasti juga akan macet dan kehilangan elannya sebagai tumpuan harapan masyarakat untuk mengangkat negeri kita ke luar dari berbagai krisis yang telah mencekik selama ini.

Sejauh ini, alasan di balik tertundanya pemisahan Setneg/Setkab bersumber pada penolakan Bambang Kesowo, tokoh yang kini dipercaya oleh Presiden Megawati untuk memimpin kedua

lembaga itu. Dari berbagai laporan, yang kita baca di media massa, argumen Bambang Kesowo bersandar pada satu hal, yaitu keefektifan pengawasan dan pengaturan tugas yang dilimpahkan oleh presiden kepada menteri-menterinya. Jika kedua lembaga itu dipisah, menurut lulusan Harvard yang telah bertahun-tahun membangun karir di Sekretariat Negara ini, kinerja presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan akan­ tidak ­efisien ­karena ­mata­ rantai ­keputusan ­dan ­kewenangan­ yang harus dilalui akan melebar dan bertambah panjang.

Argumen seperti itu dalam beberapa hal cukup masuk akal. Namun, ia belum menjawab hal yang fundamental: apakah fungsi kedua lembaga penting itu memang tak terpisahkan sedemikian rupa sehingga kinerja optimalnya hanya bisa tercapai­ dengan­ unifikasi,­ bukannya­ diversifikasi?­ Kalau­ fungsi­ fungsi itu hampir sama dan sebangun, kenapa pula harus ada dua lembaga dengan dua nama yang berbeda? Jika di bawah Orde Baru penyatuan keduanya dianggap sukses, apa alasan yang dapat diberikan untuk berkata bahwa ia akan mendatangkan hasil yang sama dalam arena yang sudah jauh lebih terbuka dan demokratis?

Sampai sekarang, saya belum mendengar jawaban yang memadai terhadap pertanyaan sederhana seperti itu. Pada hemat saya, lembaga Sekretariat Negara, sesuai dengan namanya, berperan mengelola negara sebagai sebuah institusi besar yang memiliki simbol-simbol dan begitu banyak aset serta urusan administratif-protokoler yang berhubungan dengan presiden sebagai kepala negara. Dalam hal ini, peran Menteri-Sekretaris Negara memang lebih baik dijalankan oleh seorang birokrat administrator yang sepenuhnya terlepas dari proses politik.

Lembaga sekretariat presiden menjalankan peran yang samasekali berbeda. Lembaga ini merupakan organ politik pemimpin eksekutif karena berkaitan langsung dengan tugas dan kewajiban presiden sebagai kepala pemerintahan. Presiden di lengkapi dengan kabinet yang dipilihnya karena ia harus membuat kebijakan serta mengkomunikasikan kebijakan tersebut agar didukung oleh publik dan parlemen. Di sinilah peran penting Sekretaris Kabinet: ia membantu presiden dalam memerintah dan membuat kebijakan, mengkoordinasikan anggotaanggota kabinet agar bekerja secara terpadu melayani visi pemimpin mereka, mengatur aspek komunikasi kebijakan dan pidato-pidato presiden, mengurus hubungan presiden dengan parlemen, dan semacamnya. Di Amerika Serikat, peran semacam ini dimainkan oleh Kepala Staf Gedung Putih, yang biasanya diisi oleh politisi kepercayaan presiden.

Bahwa di masa Orde Baru dan sebelumnya kedua lembaga itu disatukan, saya kira ini harus dilihat lebih sebagai proses pembagian kerja kelembagaan yang terhambat. Dan khususnya dalam­ era­ Soeharto,­ unifikasi­ demikian­ memang­ wajar­ adanya­ karena saat itu birokratisasi dunia politik berjalan tanpa perlawanan sama-sekali.

Tapi sekarang panggung pemerintahan sudah berbeda 180 derajat dan era Sudharmono atau Moerdiono sebagai sebuah kekuatan besar tersendiri sudah lewat. Saat ini, kantor kepresidenan dan ruang-ruang rapat di berbagai kementerian harus terkait secara organis dengan proses politik dalam masyarakat. Presiden membutuhkan ruang-ruang tertentu yang membuatnya cukup leluasa untuk memerintah sebagai politisi dan pemimpin partai, bernegosiasi, bertemu, dan membujuk berbagai elemen dalam masyarakat. la dan anggota kabinetnya harus dapat memanfaatkan media massa untuk menyampaikan pesan agar masyarakat mengerti apa yang sedang dilakukan oleh tokoh eksekutif dalam mengangkat nasib mereka.

Semua itu sarat dengan dimensi politis, bukan birokratis atau administratif semata. Jika kedua hal ini dikacaukan atau dicampuradukkan, saya khawatir, dalam masa transisi yang sulit dan tak pasti ini, presiden kita, siapapun orangnya, akan sukar memperoleh dukungan yang memadai untuk mengambil inisiatif kebijakan penting yang sudah lama ditunggu masyarakat.

17 Februari 2002

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles