Pertimbangkan: Kembali Masyarakat

Image by Arek Socha from Pixabay

NEGARA ITU OTONOM —ini adalah argumen teoretis yang paling penting dari para teoretisi yang menegaskan pentingnya negara. Bagi mereka, kaum Marxis dan Liberal-Pluralis salah: negara bukanlah alat kelas yang berkuasa, dan juga bukan suatu mesin yang netral. Negara merupakan suatu lembaga organik, dan pada dirinya sendiri merupakan aktor. Dengan demikian, menurut Stephen Krasner, negara ”tidak bisa dipahami sebagai suatu cerminan dari karakteristik atau preferensi sosial”.i

Argumen ini tidak begitu meyakinkan, karena tiga alasan. Pertama, seringkali mustahil untuk menentukan apa itu kepentingan negara.

Untuk memahami poin ini, mari kita cermati contoh sederhana berikut ini. Di Indonesia, pertarungan politik paling penting sekarang ini terjadi ”di dalam” negara, yakni antara kaum teknokrat dan kalangan nasionalis-ekonomi. Yang pertama ingin menjadikan perekonomian negeri itu lebih liberal, sementara yang kedua ingin menjadikannya lebih protektif dan populis. Orang-orang dari kedua kelompok tersebut menempati jabatan-jabatan penting dalam berbagai lembaga pemerintahan (bank sentral, menteri perekonomian, komisi perencanaan industri, militer, sekretariat negara, parlemen, dan sebagainya).

Dalam keadaan seperti ini, mustahil bagi kita untuk menga­­takan secara a priori apa itu kepentingan negara Orde Baru. Arah kebijakan-kebijakan pemerintah diperselisihkan oleh kelompok-kelompok yang saling bersaing tersebut (dan karena itulah mengapa kebijakan-kebijakan itu seringkali tidak koheren).

Sebagian teoretisi yang menegaskan pentingnya negara, dalam menganalisis negara Orde Baru, menyatakan bahwa terlepas dari konflik antara kalangan teknokrat dan nasionalis tersebut, kepentingan utama negara masih bisa dilihat dengan jelas, yakni mengakumulasi modal demi untuk menjaga le­gitimasinya.ii Namun pandangan ini agak bodoh dan abstrak karena ia tidak memahami berbagai perbedaan besar antara kebijakan-kebijakan pasar bebas dan kebijakan-kebijakan nasionalistik.iii

Konsep ”otonomi negara” hanya bisa dipahami jika ia terkait dengan tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan tertentu negara. Dengan demikian, karena mendefinisikan kepentingan negara merupakan suatu hal yang mustahil, argumen inti dari para teoretisi yang mengagungkan negara tersebut jadi membingungkan.

Alasan kedua secara langsung terkait dengan alasan pertama: Konsep tentang ”otonomi” tersebut melihat negara se­bagai ”aktor yang padu, yang mempunyai suatu rasionalitas yang unik dan universalistik, serta mempunyai fungsi-fungsi yang jelas”.iv Pandangan tentang negara ini sebagian dipengaruhi oleh Hegel (yang melihat negara sebagai suatu badan organik, suatu kekuatan utuh-padu yang universal), dan sebagian dipengaruhi oleh Weber (yang menganggap bahwa birokrasi rasional-legal merupakan inti dari negara modern). Pandangan tentang negara yang utuh-padu inilah yang menjadikan mengapa para teoretisi yang mengagungkan negara—seperti yang dikatakan Almondv jarang menegaskan apa yang mereka maksudkan dengan ”negara” dalam definisi yang ketat.

200 tahun yang lalu, ketika Louis XIV bisa mengatakan ”l’Etat c’est Moi”, atau ketika Frederick II bisa menganggap dirinya sebagai ”der erste Diener des Staates”, mungkin tidak mus­tahil untuk melihat negara sebagai entitas yang mempunyai inti, suatu organisme utuh yang dipimpin satu orang. Sekarang ini negara telah berkembang menjadi sangat kompleks. Negara modern, seperti yang dikemukakan Schmitter, ”merupakan kum­pulan agensi yang tak berbentuk, dengan batas-batas yang sangat tidak jelas, serta menjalankan berbagai macam fungsi yang sangat kabur”.vi Kekuasaannya tidak lagi bergantung hanya pada satu orang atau lembaga, dan tindakan-tindakannya seringkali tidak sistematis (yang mencerminkan kenyataan bahwa bermacam aktor politik bersaing untuk memengaruhi arah tujuannya).

Alasan ketiga: Argumen para teoretisi yang menegaskan pentingnya negara tersebut gagal memahami perubahan politik. Drama besar transformasi politik terjadi di wilayah ”masyarakat”.

Negara Soviet runtuh bukan karena ”preferensi-preferensi”-nya berubah. Korea Selatan menjadi demokratis bukan karena ne­gara Korea tiba-tiba menganggap ada ”kepentingan” baru yang lebih baik dan lebih sesuai dengan masyarakat kelas menengah yang sedang muncul. Untuk memahami transformasi politik kita per­lu melihat lebih mendalam pada faktor-faktor seperti per­ubahan teknologi, pertumbuhan atau kemerosotan ekonomi, munculnya gagasan-gagasan politik baru (atau kembali bang­kit­nya gagasan-gagasan politik lama), serta berubahnya struktur kelas.

Argumen tentang ”otonomi negara” tersebut dikemukakan karena para teoretisi negara itu menganggap bahwa baik Marxisme maupun pluralisme-liberal bersifat reduksionistik. Na­mun ternyata pandangan mereka juga demikian halnya. Kon­sep tentang “otonomi” tersebut menyebabkan kita meng­abaikan berbagai faktor yang perlu kita ketahui jika kita ingin memahami per­ubahan politik.

Ketiga kelemahan argumen inti para teoretisi yang mengagungkan negara ini cukup memadai untuk me­nyang­kal fokus penyelidikan yang mereka lakukan. Apa yang perlu kita lakukan sekarang adalah mempertimbangkan kembali ma­syarakat. Semakin banyak buku yang membahas pokok per­soalan ini. Dalam memahami perubahan politik di negara-ne­gara bekas komunis, misalnya, konsep tentang ”masyarakat sipil” sekarang sangat umum diterima. Dalam menjelaskan me­ngapa sebagian negara Asia Timur bergerak ke arah demokrasi, se­dangkan seba­gian yang lain tidak, konsep tentang ”kelas menengah” dan ”perpecahan sosial” sekarang ini kembali di­lirik. Saya menganggap pergeseran orientasi penyelidikan ini me­rupakan suatu halyang lebih baik.

i. Stephen Krasner, 1984, “Approaches to the State: Alternative Conceptions and His­

torical Dynamics”, Comparative Politics 16, hlm. 225.

ii. Lihat, misalnya, Arief Budiman (ed.), State and Civil Society in Indonesia, Monash

University, Australia, 1990; dan Richard Robinson, Indonesia, The Rise of Capital, Allen & Unwin, 1986.

iii. Tentu saja, keduanya bisa dilihat sebagai kebijakan-kebijakan untuk akumulasi modal. Namun konsekuensi mereka sangat berbeda: yang pertama, dalam jangka panjang, akan memperlemah negara; sementara yang terakhir akan memperkuatnya. Mengatakan bahwa kedua kebijakan ini pada dasarnya sama (seperti yang dilakukan oleh para teoretisi negara tersebut) sama dengan mengatakan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kapitalisme dan etatisme ekonomi.

iv. Adam Przeworski, 1990, The State and the Economy under Capitalism, Harwood Publisher, hlm. 65.

v. Lihat Gabriel Almond, 1998, “The Return to the State”, APSR 82.

vi. Philippe C. Schmitter, 1986, “Neo-Corporatism and the State”, dalam Wyn Grant (ed.), Political Economy of Corporatism, McMillan, hlm. 3.

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.