Kapitalisme, Sosialisme, dan Dunia Ketiga (Bagaimana Peter Berger Bergerak ke “Kanan”)

Gambar oleh Skitterphoto dari Pexels

SOSIALISME DAN KAPITALISME, sebelum Gorbachev mulai mengikis ajaran-ajaran dasar sosialisme pada pertengahan 1980-an, dianggap sebagai dua pilihan paham yang saling bersaing bagi pembangunan di Dunia Ketiga.i Memang, setelah Perang Dunia II, salah satu persoalan utama dalam pembangunan Dunia Ketiga berkenaan dengan persoalan apakah sosialisme atau kapitalisme, atau perpaduan dari keduanya, yang merupakan cara tercepat dan teraman untuk ke luar dari kemiskinan dan ketertinggalkan.

Salah satu teoretisi sosial besar yang mencoba untuk membahas persoalan sosialisme dan kapitalisme jika diterapkan di Dunia Ketiga adalah Peter L. Berger. Pada 1974, bukunya, pyramids of Sacrifce (Basic Books), diterbitkan. Dalam buku ini Berger menulis bahwa baik kapitalisme maupun sosialisme telah mengakibatkan korban manusia yang begitu besar di Dunia Ketiga. Kedua ideologi atau model pembangunan ini bukannya tanpa mitos-mitos; dan berbagai mitos ini harus ditolak. Posisinya netral: baik sosialisme maupun kapitalisme bisa ditolak, atau diterapkan, jika “kalkulus penderitaan” dan “kalkulus makna” diperhitungkan. Dua belas tahun kemudian, ia menulis sebuah buku lain, Capitalist Revolution (Basic Books). Di sini ia memperlihatkan bahwa ia telah meninggalkan posisi sebelumnya. Ia berkata bahwa bagi Dunia Ketiga, kapitalisme secara moral merupakan pertaruhan yang lebih aman. Ia menjelaskan bagaimana kapitalisme telah menghasilkan kekuatan produktif terbesar dalam sejarah manusia dan bagaimana kisah sukses kapitalisme di Eropa Timur merupakan suatu kabar buruk bagi Marxisme. Pendeknya, dalam buku ini, sebagaimana yang ia tulis sendiri, ia bergerak ke “kanan”.

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menjabarkan gagasan-gagasan Berger dalam buku-buku di atas. Fokus saya adalah gagasan Berger tentang kapitalisme dan sosialisme dan penerapan mereka dalam Dunia Ketiga. Saya juga akan berusaha melihat mengapa Berger meninggalkan “netralitas” dan bergerak ke “kanan”.

Piramida Korban
Gagasan kapitalisme tentang pembangunan, bagi Berger, pada dasarnya merupakan “suatu proyeksi universal dari ‘Mimpi Amerika’—sebuah visi tentang keberlimpahan ekonomi dalam konteks demokrasi politik dan masyarakat kelas yang dinamis” (hlm. 38). Karena itu, bagi para pemimpin Dunia Ketiga yang percaya pada cara pembangunan ini, apa yang mereka janjikan kepada rakyat mereka adalah keberlimpahan materiil dan kebebasan politik. Namun bagi Berger, gagasan bahwa pembangunan kapitalis di Dunia Ketiga dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat umum adalah sebuah mitos (“mitos pertumbuhan, yang tertanam dalam suatu mitologi kemajuan dan modernitas yang menyeluruh”) [hlm. 39]. Dan sebagaimana yang kemudian akan ia tunjukkan dalam penilaiannya atas pertumbuhan ekonomi Brasil, janji akan kebebasan politik “ditunda” demi untuk mengejawantahkan mitos pertumbuhan.

Untuk mengkritik model-model kapitalis tersebut, Berger mulai dari dua pertanyaan: siapa yang menetapkan model tersebut? Siapa, jika ada, yang mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan tersebut? Dalam menjawab pertanyaan pertama, Berger sekadar menyatakan bahwa yang menentukan model tersebut adalah para teknokrat, pengusaha, birokrat, administrator, dan ahli-ahli sosial yang lain. Masyarakat pada umumnya, yang paling terkena dampak dari keputusan mereka, sangat jarang ditanya dalam proses pembuatan keputusan.

Dalam menjawab pertanyaan kedua, ia menyatakan bahwa kecenderungan-kecenderungan dalam Dunia Ketiga memperlihatkan bahwa kaum miskin tidak mendapatkan apapun: efek menetes ke bawah atau efek penyebaran samasekali tidak terjadi:

Di banyak negara Dunia Ketiga terdapat suatu distribusi yang semakin jauh berbeda dalam hal pendapatan dan kekayaan. Yakni, kelas-kelas bawah mendapatkan lebih sedikit, dan bukan lebih banyak, saat proses [pembangunan kapitalis] tersebut berjalan. Kondisi dasar mereka juga tidak banyak mengalami perbaikan. Terdapat lebih banyak kelaparan dan penyakit sekarang ini dibanding beberapa dekade yang lalu, bukan hanya dalam kaitannya dengan angka absolut,namun bahkan ketika pertambahan populasi diperhitungkan.

Apa yang mencolok, di banyak negara Dunia Ketiga terdapat peningkatan pengangguran dan kekurangan pekerjaan (hlm. 47; huruf miring berasal dari teks asli).

Penting untuk dicatat di sini bahwa Berger tidak menolak gagasan-gagasan dari para teoretisi dependensia bahwa pembangunan kapitalis bisa menghasilkan “perkembangan bagi yang kurang-berkembang”. Ia bahkan menjelaskan dengan cukup panjang lebar gagasan-gagasan utama dari teori-teori dependesia, tanpa mengkritiknya. Ia mengatakan bahwa terdapat berbagai kemungkinan bahwa mereka yang mendapatkan keuntungan dari proses pembangunan tersebut adalah kepentingan-kepentingan asing, para kapitalis lokal, dan kaum birokrat; dan bahwa keputusan-keputusan penting dalam politik dalam negeri dilakukan di luar negara-negara Dunia Ketiga tersebut (hlm. 47-53).

Berger menjadikan pembangunan di Brasil sebagai contoh dari pembangunan kapitalis. Pemerintahan militer, setelah merebut kekuasaan pada 1964, membangun negeri tersebut. Pemerintahan ini mencoba untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, dan pada saat yang sama ia juga mendedahkan kontrol otoriter pada masyarakatnya. Para teknokrat yang bekerja dengan rezim tersebut percaya bahwa kekayaan harus diciptakan sebelum hal itu dapat didistribusikan. Mereka percaya bahwa meskipun dalam jangka-pendek sebagian orang akan dirugikan dan kesenjangan meningkat, dalam jangka panjang semua kelompok akan mendapatkan keuntungan.

Sebagai akibatnya, menurut Berger, Brasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Pada 1972, angka pertumbuhan GNP adalah 11,3 persen. Antara 1964 dan 1970, GNP meningkat 52 persen; dan dalam periode yang sama produksi industri meningkat 69 persen.

Namun pertumbuhan yang begitu besar ini, dalam pandangan Berger, ditopang terutama oleh, dan pada gilirannya juga menciptakan, perluasan industri dengan modal-intensif yang begitu besar, banyak di antaranya memproduksi barang-barang konsumen yang tahan lama dan didanai dan/atau dikontrol oleh kepentingan asing. Barang-barang yang diproduksi tersebut (mobil, TV, dan sebagainya) merupakan kemewahan yang tak terjangkau oleh sebagian besar penduduk (prioritas produksi diarahkan bagi konsumsi kalangan minoritas). Modal asing yang digunakan dalam jenis industri ini menyebabkan utang nasional yang sangat besar dan jelas menghasilkan “ketergantungan”. Dengan demikian meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi, pengangguran meningkat. Yang lebih buruk, proporsi tenaga kerja yang terlibat dalam pekerjaan industri tersebut menurun (hlm. 143).

Kesenjangan populasi juga terjadi. Pada 1970, 1/3 dari total pendapatan nasional berada di tangan 5% penduduk, sementara 40% penduduk termiskin hanya memperoleh 10% pendapatan. Dan “antara 1960 dan 1970 upah minimun riil diperkirakan merosot sekitar 30%” (hlm. 144).Karena itu, bagi Berger, gambar keseluruhan Brasil adalah suatu gambar tentang dua bangsa, “yang satu relatif makmur, dan yang lain berada dalam berbagai bentuk penderitaan” (hlm. 144). Lima belas juta orang hidup di wilayah kemakmuran, delapan puluh lima juta di wilayah penderitaan. Pendeknya, Brasil tampak seperti sebuah Swedia yang melapisi sebuah Indonesia— dan, perlu diingat, “Swedia” ini bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi dari, oleh, dan untuk dirinya sendiri (hlm. 145).

Gambar keseluruhan tersebut, menurut Berger, bahkan lebih menyedihkan ketika kita melihat bahwa dalam menjalankan kebijakannya, rezim militer tersebut menindas lawan-lawannya dan menunda berlakunya hak-hak dan kebebasan sipil (hlm. 147). Alasan utama rezim ini dalam melakukan penindasan tersebut adalah: stabilitas harus ditegakkan lebih dahulu sebelum pertumbuhan ekonomi bisa dicapai. Dari waktu ke waktu, penindasan ini menjadi suatu tindakan untuk penindasan itu sendiri; ia memiliki logikanya sendiri dan ia berbeda dengan apapun yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi; ia sekadar merupakan suatu tindakan untuk memelihara kekuasaan. Dengan demikian, penderitaan ekonomi dibarengi dengan penindasan politik. Secara keseluruhan, keadaan ini memunculkan beban yang sangat berat untuk ditanggung oleh masyarakat umum.

Menyangkut kapitalisme, Berger mengkritik sosialisme karena kegagalannya untuk memberikan “kargo” yang dijanjikan pada rakyatnya. Lebih dibanding kapitalisme, sosialisme mengandung berbagai mitos: mulai dari mitos revolusi, mitos tentang “orang-orang terpilih” (partai pelopor), hingga mitos penyelamatan dari keterasingan yang ada dalam modernitas. Lebih menarik bagi para pemimpin di Dunia Ketiga untuk “menggunakan” model pembangunan sosialis karena ia mengandung janji-janji “emosional” lebih banyak.

Model pembangunan sosialis, menurut Berger, memunculkan suatu sentralisasi birokratis dan menghalangi tiap-tiap usaha untuk mencapai sesuatu. Sebagai akibatnya, model tersebut menghasilkan ketidakefsienan dan produktivitas yang rendah. Dengan kata lain, model sosialis tersebut “memiliki suatu kecenderungan inheren untuk kembali pada kebiasaan-kebiasaan ekonomi yang buruk dan tidak efsien sebagaimana yang ada dalam sistem sosial pra-modern” (hlm. 80).

Ketergantungan terjadi bukan hanya di negara-negara yang menggunakan model kapitalis, melainkan juga di negara-negara yang menggunakan model sosialis. “Komunitas negara-negara sosialis” berarti bahwa terdapat satu negara sosialis (Uni Soviet) yang mendominasi negara-negara sosialis yang lain; dan negara dominan ini “dimotivasi oleh kepentingan ekonomi negara itu sendiri, sebagaimana yang terjadi pada negara kapitalis...”. (hlm. 82). Dengan demikian, sebuah negara Dunia Ketiga yang “disusupi” oleh kekuatan ekonomi Soviet akan melihat bahwa keputusan-keputusan ekonominya yang penting tidak dibuat secara otonom, ketergantungannya terus-menerus meningkat, keseimbangan perdagangannya buruk, dan utangnya meningkat (hlm. 82).

Sosialisme, bagi Berger, mengandung suatu kecenderungan inheren ke arah totalitarianisme karena alasan yang sederhana: “sosialisme pada dasarnya akan berusaha untuk menyerap perekonomian dalam negara, dan dengan demikian sangat meningkatkan potensi totaliter yang terakhir ini” (hlm. 86). Karena itu, tidak mengejutkan melihat bahwa di banyak negara sosialis, termasuk negara-negara di Dunia Ketiga yang menggunakan model pembangunan sosialis, teror digunakan sebagai alat politik yang “sah”.

Berger menggunakan pembangunan di Cina sebagai contoh dari pembangunan sosialis. Benar, menurut Berger, bahwa rezim sosialis Cina telah berhasil dalam mengikis kelaparan. Selama berdekade-dekade, kaum sosialis (kaum komunis) adalah kelompok “yang pertama membentuk suatu otoritas pusat yang kuat di seluruh negeri itu, yang memungkinkan mereka untuk menjalankan berbagai usaha untuk mengatasi kelaparan yang sangat sulit dilakukan selama ini” (hlm. 156). Berger juga menjelaskan bahwa di bawah model sosialis tersebut, orangorang Cina dalam hal nutrisi dan kebutuhan-kebutuhan dasar menjadi lebih baik dibanding keadaan mereka sebelumnya sebelum kaum komunis berkuasa. Dan selain itu, pencapaian ini diraih tanpa kesenjangan:

[Di Cina Komunis] hampir dapat dipastikan bahwa distribusi keuntungan-keuntungan ekonomi sekarang ini jauh lebih egaliter dibanding sebelum 1949. Kecuali mungkin pada para pemimpin politik yang berkecimpung dalam kemewahan Kota Imperial, tidak banyak kelompok yang secara ekonomi istimewa, dan kesenjangan pendapatan di antara kelompok-kelompok pekerjaan mungkin merupakan salah satu yang terkecil di dunia (hlm. 157; huruf miring berasal dari teks asli)

Namun bagi Berger, semua pencapaian ini harus dibayar dengan biaya manusia yang sangat besar: segera setelah berkuasa, rezim komunis tersebut menyebarkan teror pada rakyatnya, sebuah rantai teror yang mengerikan. Keyakinan-keyakinan dan program-program seperti “Perjuangan Terus-Menerus”, “Lompatan Besar ke Depan”, “Reformasi melalui Kaum Buruh”, dan “Revolusi Budaya Besar Kaum Proletar”, memaksa orang-orang untuk menanggung pemerintahan teror. Karena itu, Berger kemudian mengatakan bahwa “siapapun yang melihat pada catatan rezim komunis tersebut sejak 1949, bahkan dengan obyektivitas yang tidak begitu besar, akan terkesan oleh jumlah penderitaan manusia yang begitu besar yang secara langsung bisa dilacak pada tindakan-tindakan rezim tersebut. Ini adalah rekaman kematian, penderitaan, dan ketakutan...”. (hlm. 154).

Dalam hal penindasan langsung oleh organ-organ negara, Berger menulis, “Brasil dibandingkan dengan Cina seperti Swiss dibandingkan dengan kekaisaran Genghis Khan.” Dalam hal keadilan ekonomi, “Cina dibanding Brasil adalah seperti utopia kibbutz dibandingkan Eropa pertengahan di masa jayanya feodalisme.” (hlm. 162-163).

Kedua model pembangunan tersebut menuntut ongkos manusianya sendiri, penderitaan manusianya sendiri. Meskipun kedua model sebagaimana yang diterapkan di Brasil dan Cina tersebut harus ditolak, secara teoretis keduanya dapat diperbaiki. Dan bagi Berger, untuk memperbaiki model-model ini, “kalkulus penderitaan” dan “kalkulus makna” harus diperhitungkan. Yang pertama merujuk pada gagasan bahwa penderitaan manusia (kematian, ketakutan, penderitaan) tidak boleh dipertaruhkan untuk “mencapai pertumbuhan masa depan” atau janji masyarakat komunistik. Yang kedua merujuk pada gagasan bahwa setiap orang memiliki nuraninya sendiri; demikian juga setiap kelompok manusia. Mereka semua memiliki sistem maknanya sendiri yang harus dihargai oleh siapapun yang ingin menerapkan model-model pembangunan atas kehidupan mereka. Dan karena model-model pembangunan tersebut mengandung makna dan nilai pada dirinya sendiri, orang-orang harus ditanya sebelum suatu model tertentu diterapkan. Pendeknya, apa yang coba diperkenalkan Berger melalui konsep-konsep ini adalah kalkulus moral: manusia tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai suatu agregat; mereka harus diperlakukan dengan hormat.

Revolusi Kapitalis
Perpaduan teknologi modern (industri) dan kapitalisme, menurut Berger, merupakan suatu kekuatan yang paling produktif: “Kapitalisme industri telah menghasilkan kekuatan produktif terbesar dalam sejarah manusia” (hlm. 36). Alasannya, bagi Berger, adalah kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan pasar memberikan insentif terbaik bagi produktivitas yang terus-menerus meningkat:

...pasar, dengan rujukan-rujukan harganya, adalah komputer pertama yang ditemukan oleh manusia; hingga sekarang ini, pasar tidak memiliki saingan dalam menyediakan baik informasi maupun insentif bagi tiap-tiap individu cerdas yang ingin memperbaiki nasib ekonomi mereka. Tentu saja, individu-individu ini adalah orang-orang yang dalam keadaan “baik” akan menjadi para pengusaha. Sang insinyur mungkin memiliki motif-motif yang sangat berbeda; ia mungkin tidak memiliki aspirasi ekonomi samasekali; ia hanya ingin memperbaiki berbagai peralatannya dan melihat bagaimana peralatan tersebut bisa dibuat berfungsi. Namun ekonomi pasar memberikan konteks sosioekonomi yang paling menjanjikan di mana di dalamnya jenis kecerdasan manusia ini, yakni kecerdasan insinyur, bisa berkembang. Dan inilah alasan mengapa perpaduan kapitalisme dan teknologi modern merupakan suatu perpaduan yang produktif. (hlm. 37)

Dengan kata lain, pasar, dengan semua faktor di dalamnya, seperti hubungan ‘rasional’ antara permintaan dan penawaran, ‘kebebasan’ untuk melakukan bisnis dan mendapatkan keuntungan, serta dorongan untuk menjadi kaya, memberi konteks sosio-ekonomi yang optimal bagi teknologi modern untuk menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat manusia.

Di sisi lain, sosialisme, meskipun ia juga bisa berjalan bersama teknologi modern (industri), memiliki kemampuan inheren untuk menginstitusionalisasikan produktivitas yang rendah (di sini posisi Berger tidak berbeda dari posisinya dalam buku sebelumnya). Menurut Berger, benar bahwa Uni Soviet, misalnya, adalah sebuah negara industri maju. Namun “ia secara intrin­sik mustahil untuk merencanakan efsiensi bagi per­eko­no­mian sebuah negara-bangsa modern, khususnya jika hal itu secepat Uni Soviet. ‘Rencana’ tersebut jarang sekali berjalan sebagaimana diinginkan”. (hlm. 176). Berger kemudian melanjutkan:

sebagian besar ekonom setuju bahwa persoalan ini inheren karena penghapusan pasar menghilangkan informasi yang disediakan oleh sistem harga. Usaha-usaha untuk memperkenalkan komputer (utopia yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai “sosialisme matematis”) juga terus-menerus gagal. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi Hungaria, bahkan seorang birokrat yang sangat ketat lebih feksibel ketimbang komputer yang paling feksibel. (hlm. 176)

Selain produktivitas ekonomi, kapitalisme juga sejalan dengan kebebasan politik (demokrasi). “Semua demokrasi,” tulis Berger, “adalah kapitalis; tidak ada demokrasi yang sosialis.” (hlm. 76). Tentu saja Berger juga mengakui bahwa banyak masyarakat kapitalis tidak demokratis. Namun baginya, kapitalisme merupakan syarat yang diperlukan, meskipun tidak memadai, bagi demokrasi. Ia menolak argumen Joseph Schumpeter bahwa asosiasi antara demokrasi dan kapitalisme hanyalah kebetulan sejarah, dan bahwa demokrasi mungkin dijalankan baik dalam sosialisme maupun kapitalisme.

Negara modern, karena kontrolnya atas banyak sumberdaya seperti teknologi dan birokrasi, melambangkan akumulasi kekuasaan dalam sejarah manusia. Dengan demikian, negara modern memiliki “kecenderungan inheren untuk memperluas kekuasaannya semakin jauh ke dalam masyarakat, kecuali jika ia dicegah dengan berbagai pembatasan yang terlembagakan” (hlm. 79). Dan bagi Berger, hanya kapitalisme yang menyediakan pembatasan-pembatasan ini: ia menciptakan dinamikanya sendiri, sektor-sektor ekonomi dan sosialnya sendiri, yang merupakan wilayah yang relatif otonom. Kapitalisme memunculkan para pengusaha, pengacara, dst., yang independen dan bebas dari kontrol negara. Kapitalisme juga memunculkan sektor-sektor bisnis yang bebas dari campur-tangan negara. Sebaliknya, sosialisme, karena kecenderungannya untuk membirokratisasikan semua sektor ekonomi, tidak memberi kesempatan kepada orang-orang untuk bertindak secara independen dari negara. Ia tidak memberi kemungkinan bagi benih-benih demokrasi untuk berkembang. Karena itu, sementara kapitalisme “sesuai” dengan demokrasi, sosialisme “sesuai” dengan kecenderungan totalitarian negara modern.

Setelah menjelaskan “fenomena umum” kapitalisme dan sosialisme ini, Berger kemudian mengulas Dunia Ketiga dan proses pembangunannya. Di sini ia memberikan suatu penilaian yang “kuat”: “Pembangunan kapitalis, dibanding pembangunan sosialis, lebih mungkin memperbaiki standar kehidupan materiil orang-orang di Dunia Ketiga sekarang ini, termasuk kelompok-kelompok termiskin” (hlm. 136).

Untuk mempertahankan argumen ini, ia pertama-tama tentu saja harus menolak teori-teori dependensia, teori-teori yang dalam bukunya yang sebelumnya ia puji-puji. Dalam hal ini ia berkata: “Sangat sulit mengatakan bahwa, secara keseluruhan, masuknya ekonomi kapitalis ke negara-negara Dunia Ketiga telah membahayakan perekonomian negara-negara tersebut” (hlm. 126; huruf miring dari teks asli). Ia mengecam gagasan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional hanya merupakan agen-agen “sang metropolis” untuk melanggengkan keterbelakangan di Dunia Ketiga; sebaliknya, baginya, perusahaan-perusahaan multinasional tersebut, “terlepas dari dosa-dosa apapun yang mungkin telah mereka lakukan di berbagai tempat, adalah sarana-sarana yang paling penting bagi transfer modal dan teknologi ke negara-negara Dunia Ketiga, pelatihan orang-orang pribumi dalam berbagai keahlian ekonomi modern, dan penerimaan pajak ke dalam keuangan Dunia Ketiga” (hlm. 127).

Imperialisme tidak ada kaitannya dengan keterbelakangan atau pembangunan di Dunia Ketiga. Dengan demikian, tingkat ketergantungan sebuah perekonomian nasional, “tidak relevan dengan persoalan pembangunan” (hlm. 129). Untuk mempertahankan argumen ini Berger mengatakan bahwa Jepang adalah contoh sempurna. “Jika memang ada korban imperialisme, itu adalah Jepang” (hlm. 128). Namun Jepang kemudian menjalankan salah satu pembangunan yang paling mengesankan dalam seluruh sejarah negara modern. Keberhasilan pembangunan kapitalis di Asia Timur memberi alasan lain—dan paling kuat—bagi Berger untuk menolak teori-teori dependensia. Saya akan menjelaskan pandangan Berger atas negara-negara ini dalam paragraf berikutnya. Singkat kata, bertentangan dengan teori-teori dependensia yang sebelumnya ia puji, Berger kini menyimpulkan bahwa: “Masuknya sebuah negara Dunia Ketiga ke dalam sistem kapitalis internasional cenderung menguntungkan perkembangannya” (hlm. 129).

Alasan terkuat bagi Berger untuk memilih model pembangunan kapitalis sebagai model terbaik bagi Dunia Ketiga adalah kekagumannya atas keberhasilan perekonomian negaranegara Asia Timur (Jepang dan Empat Naga Kecil). Negaranegara ini, dalam dua atau tiga dekade proses pembangunannya, telah hampir sepenuhnya mengikis kemiskinan, mengalami angka pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi (7% hingga 10% per tahun), menciptakan suatu dasar yang sangat kuat bagi berbagai produksi manufaktur, dan telah meningkatkan kemampuan (pendidikan) sumberdaya manusianya dengan sangat cepat. Selain itu, mereka memperlihatkan bahwa pembangunan negara mereka bisa menghasilkan kesetaraan ekonomi relatif yang lebih besar ketimbang sebagian besar negara industri Barat. Jepang misalnya. Pada 1977, rasio 20% kelompok pendapatan tertinggi dibanding terendah adalah 4,1 (AS pada 1972 adalah 9,5; Swedia pada 1972 adalah 5,6; dan UK pada 1979 adalah 5,6). Atau Taiwan misalnya. Dari 1964 hingga 1979, share pendapatan 20% keluarga termiskin meningkat dari 7,7 menjadi 8,6%, sementara share 20% keluarga terkaya menurun dari 41,1 menjadi 37,5%. Pendeknya, dalam kesimpulan Berger, perkembangan ekonomi Asia Timur menyangkal, atau bahkan menolak, tesis Kuznets. Pada masa-masa awal pembangunan di AS, Britania, Prancis, dan Jerman, ketidaksetaraan yang begitu besar terjadi sebelum kesetaraan ekonomi relatif bisa dicapai dengan dasar yang lebih kokoh. Di Asia Timur, dalam tahap-tahap awal pembangunan Taiwan, misalnya, si miskin lebih cepat menjadi lebih kaya dibanding si kaya menjadi lebih kaya. (hlm. 140-152).

Pendeknya, bagi Berger, keberhasilan perekonomian Asia Timur adalah suatu mukjizat, Kasus Kedua dalam sejarah pembangunan ekonomi kapitalis. Dan karena itu, menurut Berger, “Asia Timur menegaskan kekuatan produktif yang superior dari kapitalisme industri” (hlm. 153).

Berger menjelaskan bahwa, di bawah kapitalisme, kunci keberhasilan ekonomi negara-negara ini terletak dalam budaya Sinitik yang mendorong orang untuk bekerja lebih keras, menghormati otoritas, dan bersikap asketis. Dengan demikian, baginya, Etika Sinitik tersebut merupakan ganti (atau dalam istilah Berger: “padanan fungsional”) dari Etika Protestan yang dianggap Weber memiliki peran penting dalam perkembangan kapitalisme Barat. (hlm. 161)

Jelas bahwa dalam Capitalist Revolution, Peter Berger meninggalkan “netralitas”-nya dan bergerak ke “kanan”. Bagi Dunia Ketiga, menurutnya, model pembangunan kapitalis adalah pertaruhan yang secara moral lebih aman. Sebagaimana yang bisa kita lihat dari berbagai penjelasan di atas, ia menolak posisinya sebelumnyaii karena baginya kapitalisme sangat mungkin akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, dan bisa memunculkan dorongan-dorongan yang diperlukan untuk membangun demokrasi. Namun faktor paling penting yang mengubah posisinya adalah pengakuannya akan realitas empiris: mukjizat ekonomi Asia Timur. Dalam hal ini, menarik untuk melihat bagaimana ia menggambarkan pengalamannya dalam Pendahuluan Capitalist Revolution:

Ketika saya mulai menyibukkan diri saya dengan persoalanpersoalan (pembangunan) ini secara lebih serius dibanding 15 tahun yang lalu, saya sangat terbuka pada kemungkinan bahwa sosialisme mungkin merupakan suatu bentuk organisasi ekonomi dan sosial yang lebih manusiawi. Tekanan bukti-bukti empirislah—yang masuk ke dalam pikiran saya selama bertahun-tahun kerja—yang mendorong saya untuk meyakini pandangan yang sekarang ini saya yakini. Mungkin ini merupakan salah satu dari berbagai ironi karier pribadi saya bahwa.... saya bergeser ke “kanan” meski sekelompok kolega saya dalam ilmu sosial bergeser ke “kiri”. ...Titik balik bagi saya terjadi pada pertengahan 1970-an, ketika saya pertama kali mengalami Asia dan terutama masyarakat-masyarakat yang mungkin disebut orang sebagai “bulan sabit kemakmuran”, yang terentang mulai dari Jepang hingga ke semenanjung Malaya. Pengalaman dengan Asia Timur tersebut menjadikan saya sulit untuk tetap berada di tengah-tengah antara model pembangunan kapitalis dan sosialis. (hlm. 10 dan 12)

Kini bagaimana kita menilai Capitalist Revolution tersebut? Pertama-tama, penting untuk dicatat bahwa Capitalist Revolution tersebut diterbitkan pada masa ketika gelombang privatisasi atau liberalisasi ekonomi terjadi di banyak negara Dunia Ketiga, suatu gelombang yang mencerminkan pengakuan terhadap pasar sebagai mekanisme yang lebih baik untuk mengelola barang dan jasa.

Dengan demikian, jika kita mengingat bahwa tiga tahun setelah penerbitan buku itu "Kekaisaran" Soviet mulai runtuh, kita dapat mengatakan bahwa kini “tidak ada gunanya” menentang Berger. Terlepas dari para ideolog yang keras kepala, setiap orang yang berakal sehat kini tampaknya meyakini pandangan bahwa kapitalisme merupakan satu-satunya mekanisme yang memadai bagi masyarakat-masyarakat modern untuk mengalokasikan, mendistribusikan, dan menghasilkan barang dan jasa yang mereka perlukan.

Jadi persoalannya sekarang adalah: jenis kapitalisme apa? Seberapa jauh peran pemerintah dalam pasar diperbolehkan? Di mana batas yang optimal antara usaha publik dan privat? Terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga yang ingin mengikuti keberhasilan ekonomi Asia Timur, pertanyaan-pertanyaan ini jelas lebih penting ketimbang pernyataan atau proposisi bahwa “kapitalisme lebih baik dibanding sosialisme”. Karena itu, bagi para pembaca pada 1992 yang ingin menemukan cara yang lebih baik bagi pembangunan di Dunia Ketiga, Capitalist Revolution karya Berger tersebut tampak telah “usang”. Karya tersebut menjawab pertanyaan-pertanyaan lama. Atau sebagaimana yang dikemukakan Lester C. Thurow: Buku Berger tersebut adalah sebuah buku yang sangat bagus, namun buku itu menghindari isu-isu riil. Memang, keyakinan Berger bahwa Etika Sinitik memainkan peran yang sangat menentukan dalam keberhasilan ekonomi kapitalis Asia Timur pada dirinya sendiri merupakan “resep” bagi Dunia Ketiga. Hal itu mengandaikan bahwa untuk bisa berhasil, negara-negara Dunia Ketiga yang lain juga harus mengambil elemen-elemen Etika Sinitik tersebut: mereka harus bekerja keras, menghormati otoritas, dan bersikap asketis. Namun jenis jawaban “budaya” bagi pembangunan di Dunia Ketiga ini hampir bukan merupakan jawaban yang baru. Terlalu terlambat sekarang ini bagi Berger untuk memancing suatu perdebatan yang bermanfaat tentang pembangunan dengan hanya menggunakan “perspektif budaya”.

Berger tentu saja telah memberi kita suatu pemahaman yang sangat bernilai tentang bagaimana kapitalisme dan sosialisme berjalan “secara umum”. Dan karena sebagian besar dari kita sekarang ini—dengan melihat “falsifkasi empiris” yang terjadi di negara-negara komunis dua atau tiga tahun yang lalu—sama-sama meyakini bahwa kapitalisme merupakan satu-satunya sistem sosio-ekonomi yang paling memadai bagi suatu masyarakat di zaman modern, tugas berikutnya adalah menemukan peran yang tepat bagi pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan, mencari hubungan ekonomi yang optimal antara sektor publik dan privat, dan mempelajari berbagai kebijakan publik yang mengusung kepentingan terbaik negara-negara Dunia Ketiga untuk menciptakan baik pertumbuhan ekonomi maupun kesetaraan sosial. Berger mungkin memerlukan buku lain untuk menyelesaikan tugas yang sulit namun menarik ini.

Mengemukakan hal ini bukan berarti mengatakan bahwa setelah Gorbachev, sosialisme hanya akan menjadi bagian sejarah. Tentu saja, sosialisme masih akan menarik banyak pengikut di Dunia Ketiga bahkan berdekade-dekade setelah runtuhnya kekaisaran Soviet. Sosialisme, sebagaimana kapitalisme, adalah sebuah ideologi modern yang mencoba untuk memberi berbagai penjelasan tentang bagaimana membentuk sebuah masyarakat yang adil dan damai. Sosialisme, sebagai suatu usaha intelektual manusia, akan terus-menerus diperbaiki, mungkin sampai sebagian besar jejak Marx sulit dilacak di dalamnya. Namun, tentu saja “persaingan” antara sosialisme dan kapitalisme di Dunia Ketiga sebagaimana yang terjadi setelah Perang Dunia II dan sebelum Gorbachev pada 1980-an tidak akan sama lagi. Kapitalisme, setelah runtuhnya kekaisaran Soviet, dianggap sebagai pilihan yang lebih baik bagi masyarakat yang modern dan dinamis.

i Mengemukakan hal ini bukan berarti mengatakan bahwa setelah Gorbachev, sosialisme hanya akan menjadi bagian sejarah. Tentu saja, sosialisme masih akan menarik banyak pengikut di Dunia Ketiga bahkan berdekade-dekade setelah runtuhnya kekaisaran Soviet. Sosialisme, sebagaimana kapitalisme, adalah sebuah ideologi modern yang mencoba untuk memberi berbagai penjelasan tentang bagaimana membentuk sebuah masyarakat yang adil dan damai. Sosialisme, sebagai suatu usaha intelektual manusia, akan terus-menerus diperbaiki, mungkin sampai sebagian besar jejak Marx sulit dilacak di dalamnya. Namun, tentu saja “persaingan” antara sosialisme dan kapitalisme di Dunia Ketiga sebagaimana yang terjadi setelah Perang Dunia II dan sebelum Gorbachev pada 1980-an tidak akan sama lagi. Kapitalisme, setelah runtuhnya kekaisaran Soviet, dianggap sebagai pilihan yang lebih baik bagi masyarakat yang modern dan dinamis.

ii Dalam salah satu artikelnya yang ia tulis pada 1985, satu tahun sebelum Capitalist Revolution diterbitkan, Berger berkata: “Jelas, pyramids of Sacrifce kini usang, karena berbagai perubahan yang terjadi di dunia....” (Berger dan Novak, Speaking to the Third World, Washington DC., 1985, hlm. 23).

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.