Reformasi Ekonomi di Cina dan Uni Soviet: Sebuah Perbandingan

Gambar oleh Jose Conejo Saenz dari Pixabay

SEKARANG INI kita telah tahu hasil reformasi ekonomi Gorbachev dan Deng Xiaoping. Perestroika, meminjam kata-kata Anders Aslund, “merupakan suatu kegagalan ekonomi yang menyedihkan” (1991: 1). Ia malah semakin menjerumuskan perekonomian Soviet ke dalam krisis, dan kemudian memiliki andil terhadap lengsernya penggagasnya, Gorbachev. Sebaliknya, reformasi di Cina telah menjadikannya salah satu negeri dengan perekonomian yang paling cepat tumbuh di dunia, tanpa infasi tinggi yang lazimnya mengancam sebuah perekonomian yang tumbuh dengan cepat (The Economist, 07/02/1993). Tahun lalu, sementara Gorbachev tersingkirkan dan perekonomian Soviet (kini Rusia) tenggelam dalam lautan masalah yang lebih dalam, perekonomian Cina tumbuh 12%, sebuah angka pertumbuhan yang melampaui Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

Dengan kata lain, sementara reformasi ekonomi Gorbachev gagal, reformasi Deng Xiaoping, sebagaimana dikemukakan sejarawan Paul Kennedy, “mungkin suatu hari dilihat dengan cara para sejarawan melihat Prancisnya Colbert, atau tahap tahap awal berkuasanya Frederick The Great, atau Jepang pada dekade-dekade pasca-Restorasi Meiji” (1987: 448).

Tulisan ini akan membahas mengapa perbedaan yang mencolok ini terjadi. Agar pembahasan ini tetap fokus, saya hanya akan melihat jalannya reformasi ekonomi tersebut dari tiga sektor khusus: pertanian, industri dan perdagangan, dan keuangan (harga). Dengan membandingkan reformasi di sektor-sektor ini kita mungkin dapat lebih memahami mengapa Gorbachev gagal dan Uni Soviet runtuh, sedangkan Deng di Cina, dari sudut pandang ekonomi, sampai sejauh ini sangat berhasil.

Sebelum membahas reformasi ekonomi di Cina dan Uni Soviet, saya akan menjabarkan model ekonomi Stalinis, yang merupakan target utama untuk direformasi di kedua negara tersebut. Pada bagian terakhir saya akan membahas beberapa penjelasan sosio-politik terhadap reformasi tersebut. Dalam melakukan hal tersebut saya mengandaikan bahwa keberhasilan atau kegagalan sebuah reformasi ekonomi bukan hanya bersandar pada reformasi itu sendiri sebagai serangkaian program ekonomi yang konsisten dan berorientasi ke depan, melainkan juga pada beberapa faktor sosio-politik yang membantu, atau merintangi, para pembaharu untuk menjalankan program-program yang tepat.

Dua Model Ekonomi
Perekonomian Soviet dan Cina memiliki beberapa ciri dasar yang sama. Ajaran-ajaran dasar Marxisme merupakan fondasi kedua perekonomian tersebut. Dalam kedua perekonomian tersebut, alat-alat produksi dimiliki dan dijalankan oleh publik (yakni negara), dan harga “diatur secara sosial” oleh para perencana pusat. Tentu saja terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup signifkan antara kedua perekonomian tersebut, se­bagaimana yang akan saya perlihatkan nanti. Namun pada titik ini kita bisa mengatakan bahwa kedua perekonomian itu, meminjam istilah Daniel Bell, adalah perekonomian yang dimobilisasi, di mana birokrasi negara merencanakan dan mengatur semua sektor perekonomian.

Di Uni Soviet, Stalin adalah orang yang merampungkan semua fondasi perekonomian yang berlangsung hingga periode Gorbachev. Dalam model Stalinis tersebut, prioritas ekonomi adalah memperluas industri-industri berat yang memproduksi bahan-bahan mentah dan mesin—batu bara, baja, traktor, truk, dll. Industri-industri konsumen dan jasa hampir sepenuhnya diabaikan (Goldman, 1983). Sang perencana pusat negara, Gosplan, merancang hampir semua target hasil kotor (val) yang akan diproduksi oleh berbagai industri. Para manajer dalam industri-industri tersebut tidak banyak memiliki otonomi untuk melakukan apa yang mereka anggap tepat untuk meningkatkan bisnis mereka.

Harga ditetapkan oleh Goskomtsen. Setiap tahun, menurut Shemelev dan Popov (1989: 167), Goskomtsen harus menyetujui 200.000 harga dan tarif barang-barang dan jasa. Karena harga dalam model Stalinis ini bukan merupakan cerminan dari dinamika hubungan antara permintaan dan penawaran, tidak terdapat metode yang jelas bagaimana para birokrat di Goskomtsen bekerja. Kata kunci mereka adalah “harga-harga yang diatur secara sosial”. Namun tak seorang pun yang benar-benar memahami apa maksudnya. Menurut Daniel Bell (1991: 52), apa yang sesungguhnya dilakukan oleh para birokrat tersebut adalah membuat “perkiraan-perkiraan liar yang didasarkan pada jenis aritmetika ekonomi primitif, suatu sudut pandang yang sama ‘rumit’-nya sebagaimana pernyataan Lenin... bahwa menjalankan administrasi negara sama kompleksnya seperti menjalankan kantor pos!”

Sektor-sektor pertanian dibagi menjadi perkebunan kolektif dan negara. Para pekerja di perkebunan-perkebunan negara (sovkhozy) dijamin dengan gaji yang pasti, sedangkan di perkebunan-perkebunan kolektif (kolkhozy) mereka bisa mendapatkan bonus jika target hasil bisa ditingkatkan. Pekerjaanpekerjaan menggarap tanah, bercocok tanam, dan memanen di kedua perkebunan tersebut diputuskan bukan oleh para petani melainkan oleh para birokrat yang bekerja sebagai manajer perkebunan. Dalam merancang model pertanian ini, Stalin menggunakan metode koersif yang sangat ketat yang merupakan salah satu bentuk kekejaman di masanya (Medvedev 1989: 230-240). Tujuan dasarnya adalah menggunakan sektor-sektor pertanian sebagai penopang yang menjadi tempat untuk menghasilkan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan bagi industrialisasi. Harga hasil-hasil pertanian karena itu dipatok sangat rendah agar para pekerja di kota-kota bisa mengkonsumsinya. Dengan kata lain, para petani dikorbankan. Mereka harus menggarap tanah yang bukan milik mereka sendiri, memberi makan sapi-sapi yang bukan milik siapapun, di bawah bimbingan ketat para manajer perkebunan, dengan gaji yang rendah (lihat Goldman 1983: 63-87; Desai 1989: 15-19).

Di Cina, model ekonomi Stalinis ini merupakan cetak-biru bagi Rencana Lima Tahun Pertama-nya (FFYP) pada pertengahan 1950-an, yang menjadi dasar bagi perkembangan perekonomian berikutnya. Penggunaan model Soviet ini, menurut Harry Harding (1987: 14), sangat ironis karena “Partai [Komunis Cina] berhasil merebut kekuasaan hanya ketika ia menolak model pemberontakan kota Soviet dan lebih memilih strategi peperangan terus-menerus para petani”.

Superbirokrasi Stalinis tersebut kemudian dibentuk--yang merancang dan mengatur hasil dan harga berbagai industri dan perusahaan nasional. Perluasan industri berat juga ditempatkan sebagai prioritas tertinggi dalam sistem ekonomi tersebut, dengan mengorbankan industri ringan dan industri konsumen. 38 persen investasi modal dari bujet negara dialokasikan ke konstruksi industri-industri berat—di Uni Soviet alokasi ini 30%. Dan kepemilikan pribadi di sektor industri kota sepenuhnya diberikan kepada negara dan perkumpulan-perkumpulan pekerja pada 1956 (Riskin, 1987).

Di sektor-sektor pertanian, tanah dan modal, yang telah didistribusikan ulang melalui reformasi tanah kepada para petani pada awal 1950-an, digabungkan, pertama-tama ke dalam “tim bantuan bersama”, kemudian ke koperasi-koperasi, dan kemudian ke perkebunan-perkebunan kolektif, mirip dengan perkebunan-perkebunan kolektif Soviet. Pada 1957, ketika proses kolektivisasi ini akhirnya selesai, terdapat total 760.000 hingga 800.000 koperasi perkebunan, masing-masing terdiri atas 160 keluarga, atau 600 hingga 700 orang (Hsu 1990: 653). Di perkebunan-perkebunan kolektif ini keputusan dalam hal produksi tidak ada pada para petani melainkan pada para kader partai dan pejabat pemerintah. Di sini, sebagaimana dijelaskan Gordon White (1987: 414), ketika para petani tersebut tidak menyukai keputusan para kader atau pejabat lokal, “mereka biasanya hanya dapat menggunakan metode-metode perlawanan informal (menggerutu sendiri atau semi-publik, malas bekerja, pencurian kecil-kecilan, dan penghindaran kerja)”.

Tentu saja, di Cina, perwujudan model Stalinis tersebut bukan tanpa tentangan. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa setelah FFYP, apa yang terjadi adalah serangkaian eksperimen terus­menerus untuk memodifkasi, atau bahkan menjauh dari, ajaran-ajaran ekonomi dasar Stalinis tersebut. Para pemimpin Cina bukan merupakan murid-murid yang tidak kritis dari kawan-kawan Soviet mereka. Mereka mencoba mencari jalan sendiri dengan ciri-ciri Cina yang kuat. Beberapa isu menarik perhatian mereka, seperti perbedaan yang semakin besar antara sektor kota dan pedesaan, kesenjangan yang semakin meningkat di antara kelompok-kelompok masyarakat, korupsi dan birokratisasi negara.

Kita pada dasarnya bisa membagi dua reaksi yang berbeda terhadap model Stalinis di Cina, yang dampak-dampaknya memengaruhi ekonomi hingga akhir 1970-an. Pertama, reaksi teknokratik-modernis, yang dilancarkan selama periode perbaikan setelah Lompatan Besar ke Depan. Di sini, para pemimpin Cina, yang dipimpin bukan oleh Mao melainkan oleh Deng Xiaoping dan Liu Shaoqi, mencoba untuk merasionalisasikan perencanaan birokratis tersebut dengan memberi otoritas yang lebih besar kepada para manajer dan teknokrat. Negara juga memberikan “keleluasaan yang besar bagi otoritas-otoritas di unit-unit produksi lokal untuk memberikan insentif-insentif keuangan bagi para pekerja dan petani untuk memacu semangat dan meningkatkan produksi” (Meisner, 1986: 226).

Namun andil yang paling penting dari reaksi teknokratik modernis ini terletak pada pengakuan para pemimpin bahwa pertanian, dan bukan industri-industri berat, harus menjadi fondasi Cina untuk membangun suatu perekonomian yang kuat. Dengan demikian, model Stalinis tersebut dibalikkan. Karena itu, dari 1963 hingga 1965 andil pertanian terhadap pembentukan modal naik menjadi 18,8% dari hanya 7,8% selama periode FFYP (Riskin, 1987: 152). Dari eksperimen “kebijakan-kebijakan ekonomi baru” inilah reformasi pada akhir 1970-an tersebut menampakkan hasilnya, sebagaimana yang akan saya jabarkan nanti.

Reaksi kedua adalah reaksi Maois. Melalui Lompatan Besar ke Depan dan Revolusi Budaya, apa yang coba dilakukan Mao pada dasarnya menyerang kecenderungan-kecenderungan dasar dalam model Stalinis tersebut (birokratisasi, sentralisasi) dengan visi populis dan egaliternya. Sebagaimana di Yunnan beberapa dekade yang lalu, ia mencoba untuk menggantikan jaringan ketat birokrasi dengan aktivitas-aktivitas massa yang spontan dan revolusioner. Dari sisi ekonomi, reaksi Maois ini, dalam ungkapan Schurmann, lebih merupakan produk visi dan bukan sebuah rencana. Tentu saja, selama Revolusi Budaya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Meisner (1986: 374, 383), Mao memiliki andil yang signifkan dalam memperbaiki model ekonomi tersebut dengan memperluas industrialisasi pedesaan dan dengan memindahkan kontrol atas banyak perusahaan dari kementrian di Peking ke administrasi provinsi untuk mendesentralisasi bangunan industri negara.

Namun sampai tingkat tertentu kita bisa berkata bahwa, terlepas dari semangat revolusioner dan egaliternya, reaksi Maois tersebut gagal melucuti ciri-ciri dasar model Stalinis tersebut. “Setelah 1969, struktur dasar hubungan-hubungan produksi di berbagai pabrik,” tulis Meisner, “sebagian besar masih tetap sama seperti pada tahun-tahun sebelum 1966” (1986: 382). Antara 1970-1975, sektor pertanian hanya menerima 10% dari investasi negara, dan dengan demikian kurang dari jumlah yang diterimanya dalam periode reaksi teknokratis-modernis yang saya jabarkan di atas. Dan obsesi untuk memperluas industri-industri berat dengan mengorbankan industri-industri konsumen dan kecil tetap tidak berubah: antara 1970-1975 perluasan tersebut menghabiskan 50% dari total investasi negara. Pendeknya, reaksi Maois tersebut, sebagai sebuah model ekonomi alternatif, memperkuat beberapa elemen dasar model Soviet tersebut, meskipun pada saat yang sama ia mengubah elemen-elemen yang lain (Harding, 1987: 17).

Reformasi Ekonomi
Model ekonomi Stalinis inilah yang ingin dikikis oleh reformasi di Soviet di bawah Gorbachev dan di Cina di bawah Deng. Reformasi tersebut didorong oleh berbagai kesulitan ekonomi di kedua negara itu. Di Uni Soviet, sejak pertengahan 1960-an, perekonomian hampir berhenti tumbuh. Industri-industri berat hanya bisa menghasilkan bahan-bahan mentah dan kebutuhan-kebutuhan dasar, tanpa mampu bergerak ke tahap perkembangan industri berikutnya untuk menghasilkan produk-produk berteknologi maju. Dan pada akhir 1970-an, seperti yang ditulis oleh Paul Kennedy (1987: 491), Uni Soviet telah menjadi salah satu importir biji padi terbesar di dunia (40 juta ton per tahun). Di wilayah sosial, vodka menjadi alat bagi para pekerja untuk lari dari kenyataan yang pahit dan menyakitkan di tempat kerja (Hosking 1990: 401). Pada 1980, angka kematian bayi di negara ini adalah 27,7—tertinggi di kalangan negara-negara industri.

Di Cina, apa yang terjadi sangat berbeda. Kinerja ekonomi di akhir era Maois tidak begitu buruk. Sejak 1965, industri tumbuh di atas 10% per tahun, pertanian 4%, dan GNP 6,5% (Riskin, 1987: 257). Krisis yang terjadi lebih struktural, yang dapat dilihat dari kenyataan bahwa ketika industri dan pertanian tumbuh sangat cepat selama 10 tahun, hasil padi dan konsumsi per kapita hanya tumbuh sedikit (4,0% dan 1,1%), dan standar hidup riil para petani tidak membaik (Hsu, 1990: 843). Bagi Riskin (1987), kelemahan-kelemahan dasar dari era Maois akhir adalah irasionalitas rencana-rencana birokratis, dan kurangnya insentif bagi perekonomian untuk menghasilkan barang-barang konsumsi dan jasa—suatu kelemahan yang inheren dalam model ekonomi Stalinis.

Pada titik ini, kita dapat berkata bahwa perbedaan antara reformasi di Uni Soviet dan Cina dapat dilihat dari kedalaman dan intensitas krisis yang mendorong reformasi tersebut. Deng tidak menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi separah yang dihadapi Gorbachev.

Perbedaan mencolok antara reformasi di Cina dan Uni Soviet tersebut dapat dilihat dalam keberanian, pragmatisme, dan konsistensi program-program reformasi mereka. Di Cina, seperti yang akan saya tunjukkan di bawah, setelah Plenum Ketiga pada 1978, Deng menjalankan berbagai program yang konsisten, pragmatis, dan berorientasi ke depan, untuk mengikis warisan ekonomi Stalinis-Maois. Sebaliknya, Gorbachev, terlepas dari keberhasilannya dalam merevitalisasi perusahaan-perusahaan koperasi berskala-kecil, dan terlepas dari berbagai pencapaian besarnya di wilayah hubungan internasional dan liberalisasi sistem politik, gagal menjalankan suatu program yang signifkan—shock-therapy dalam bahasa para pelaku pasar bebas—untuk mengangkat perekonomian dari kemandekan (Aslund 1991). Dan sampai tingkat tertentu, Gorbachev bahkan bisa dianggap sebagai rintangan bagi reformasi ekonomi yang sesungguhnya: ketika program 500-hari diperkenalkan oleh Kelompok Shatalin pada 1990—sebuah program untuk melakukan reformasi berjangkauan-luas dan berani di wilayah ekonomi— ia mengorganisasi, dalam ungkapan Aslund, sebuah “sirkus sejati” untuk menghalanginya (Aslund, 1991: 209).

Pertanian
Reformasi di bidang pertanian merupakan contoh yang sangat jelas tentang betapa berani dan konsistennya reformasi ekonomi di Cina, dan betapa tidak tepat dan membingungkannya reformasi di Uni Soviet. Para pembaharu Cina, yang terinspirasi oleh eksperimen sebelumnya pada 1960-1965, menjadikan sektor-sektor pertanian sebagai target pertama mereka dan menjadikannya sebagai tulang-punggung bagi reformasi lebih jauh di bidang ekonomi. Pertama, dimulai dengan panen musim panas pada 1979, harga hasil-hasil pertanian meningkat 20%, dengan premi 50% tambahan bagi penjualan-penjualan di atas-kuota. Setiap tahun hingga 1984, harga-harga ini meningkat sekitar 3 sampai 4%. Dan ketika peningkatan harga ini terlalu banyak menyerap bujet negara, kuota yang didapatkan menjadi lebih kecil, dan dengan demikian meningkatkan hasil-hasil pertanian yang dapat dijual dengan bebas dengan harga pasar. Jadi, reformasi ini membalikkan kecenderungan dasar model Stalinis yang mengatur harga-harga hasil pertanian sangat rendah untuk mendukung industrialisasi yang cepat.

Kedua, dan yang paling penting, adalah diperkenalkannya sistem pertanggungjawaban (pao-kan tao-hu). Dalam sistem ini tanah secara formal tetap publik, namun dalam praktik hal ini melucuti sistem komune kolektivis. Masing-masing keluarga petani bisa menyewa tanah, menyewa buruh, bebas memilih benih, menggarap tanah, dan sebagainya. Dengan kata lain, para petani diberi hak untuk “memiliki” tanah dan diberi tanggungjawab penuh untuk menjalankan keseluruhan proses produksi (Hsu, 1990: 844). Meskipun negara tetap sangat terlibat dalam mendapatkan hasil pertanian dan memberikan subsidi, reformasi ini pada dasarnya mengubah produksi pertanian dari pekerjaan kolektif menjadi pekerjaan pribadi. Pada 1984, 98% keluarga petani termasuk dalam sistem pertanggung jawaban ini.

Hasil reformasi tersebut sangat spektakuler. Dari 1979 hingga 1985, nilai kotor hasil pertanian naik 10,5% per tahun. Pada 1984, negeri itu menghasilkan 407 juta ton padi, suatu rekor dalam sejarahnya. Dan menurut Paul Kennedy, “antara 1979 dan 1983—ketika banyak negara di dunia mengalami depresi ekonomi—800 juta orang Cina di wilayah pedesaan meningkat penghasilannya sekitar 70%” (1987: 452).

Banyak orang menganggap bahwa ketika Gorbachev menjalankan reformasi pertaniannya, ia akan membebaskan para petani dari rezim Stalinis yang sangat kejam dan mengikuti contoh Cina. Namun, seperti dikatakan oleh Hendrick Smith (1991: 210), di Uni Soviet “sektor pertanian merupakan sebuah rawa yang stagnan, sebuah simbol yang sangat jelas dari apa yang salah dengan kebijakan ekonomi Soviet”. Ia pernah menjadi menteri pertanian: ia tahu bahwa pada 1982 setengah dari 50.000 negara bagian dan perkebunan-perkebunan kolektif mengalami kerugian. Dengan demikian, Gorbachev memiliki alasan untuk mengikis sistem yang ada, seperti yang dilakukan Cina 6 tahun sebelumnya.

Namun, anehnya, Gorbachev tidak melakukan apa yang ia anggap akan dilakukannya. Ia memulai reformasi pertaniannya “bukan di tingkat bawah, dengan para petani, seperti yang dilakukan Deng Xiaoping, melainkan di tingkat atas, dengan birokrasi” (Smith, 1991: 211). Langkah penting pertamanya adalah membentuk Komite Negara untuk Agroindustri—sebuah kementerian-super baru—yang mengkoordinasi 5 kementerian yang lain. Dalam reformasi ini, para birokrat masih memberi perintah kepada para petani tentang bagaimana dan apa yang akan diproduksi. Tidak ada yang berubah kecuali cara perintah datang dari atas. “Hal ini melanggengkan mentalitas perintah ...dan tampak semakin memperparah kekacauan pertanian, bukan mengatasinya” (Smith, 1991: 212).

Memang, setelah menyadari bahwa reformasi yang ia jalankan gagal, Gorbachev membubarkan kementerian-super tersebut pada 15 Maret 1989, dan menyerukan dilaksanakannya reformasi baru yang secara bertahap akan membawa sektor-sektor pertanian ke sebuah sistem pasar baru yang akan memberi kebebasan sepenuhnya kepada para petani untuk memilih dan menjual produk-produk mereka. Namun di sini faktor-faktor birokratis dan politik memainkan peran penting: Ligachev, saat itu orang kedua di dalam partai, dan orang-orang garis keras yang lain berhasil mencegah langkah reformasi baru ini. Karena itu, pada 1990, menurut Shemelev dan Popov (1991: 103), 90% perekonomian riil di sektor pedesaan masih dijalankan oleh sistem administratif lama. Dengan kata lain, reformasi pertanian tersebut gagal mengikis warisan dasar Stalinis.

Harga
Untuk melihat bagaimana reformasi berjalan di Cina dan Uni Soviet, kasus menarik berikutnya adalah reformasi harga. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, pengaturan harga merupakan salah satu prinsip paling mendasar dari model Stalinis. Harga dibekukan dan dipatok sangat rendah, yang tidak mencerminkan apa yang disebut sebagai “nilai barang” yang digambarkannya. Karena itu, alokasi sumberdaya tidak bisa efsien dan hubungan perekonomian dengan pasar internasional tidak dapat dihitung secara rasional. Tanpa meninggalkan, atau paling tidak mengubah, ajaran dasar model Stalinis ini, keseluruhan perekonomian tidak bisa menjadi efsien dan perdagangan luar negeri tidak dapat diprediksi. Dengan demikian, mereformasi sistem harga merupakan suatu langkah yang mutlak bagi reformasi sejati.

Di Cina, mengikuti contoh Hungaria beberapa tahun sebelumnya, reformasi harga dijalankan pada awal 1980-an, setelah diumumkan pada April 1979. Tujuannya pada dasarnya memberi pasar suatu peran yang jauh lebih besar dalam menentukan harga. Dalam praktik, apa yang dilakukan para pembaharu tersebut adalah menetapkan tiga kategori harga: harga pasti (diatur oleh pemerintah), harga mengambang, dan harga pasar. Industri-industri yang paling penting seperti baja, batu bara, dan minyak tanah masuk ke dalam harga tetap, namun harga-harga dari banyak barang konsumen biasa dan barang produsen dibiarkan bergerak sesuai dengan kondisi pasar (Riskin, 1987: 352).

Pada 1985, jumlah produk industri yang dijual dengan harga pasti menurun dari 256 menjadi 29, dan dengan berakhirnya pembelian yang ditetapkan atas produk-produk pertanian, harga daging, ikan, sayuran, dan unggas dibiarkan bergerak bebas sesuai dengan kondisi pasar (Harding, 1987: 111-112). Dan dua tahun sebelumnya, berbagai perusahaan diperbolehkan untuk menetapkan harga sendiri untuk 510 komoditas.

Dengan demikian, menjalankan reformasi ini secara radikal sangat berbahaya karena hal ini mendorong angka infasi naik dan meningkatkan defsit bujet negara. Indeks harga eceran, misalnya, naik menjadi 6% pada 1980, 10-11% pada 1985, 7% pada 1986, dan 8% pada 1987; dan defsit bujet negara antara 1978 dan 1985 naik hingga Y100 miliar. Namun, para pembaharu Cina berusaha untuk terus mendorong reformasi sepanjang 1980­an, dengan mengadopsi strategi yang feksibel dan pragmatis: melakukan penghematan ketika persoalan menjadi terlalu berbahaya, dan maju terus ketika persoalan terkendalikan.

Di Uni Soviet, tidak ada reformasi harga yang signifkan.

Hal ini sangat ironis, karena di Uni Soviet pada pertengahan 1980-an terdapat lebih banyak alasan untuk mereformasi sistem harga yang ada: harga roti tidak berubah sejak 1952, dan harga eceran resmi dari negara atas daging dan produk-produk harian tidak berubah sejak 1962. Selain itu, pada akhir 1980-an, sebagaimana yang digambarkan Shemelev, di Uni Soviet ada 25 juta produk yang berbeda yang berada dalam sistem harga yang tersentralisasi, yang perlu diatur ke dalam 25 juta harga yang berbeda oleh Goskomtsen (Hewett dan Winston, ed., 1991: 153). Sangat jelas bahwa tidak banyak hal yang dapat diperbaiki sebelum mereformasi sistem harga yang tak rasional ini.

Tentu saja terdapat beberapa usaha untuk mengundangkan dan menjalankan reformasi harga ini. Contoh paling penting dari usaha ini adalah diperkenalkannya Undang-Undang tentang Perusahaan Negara pada 1987, yang memuat beberapa usulan tentang penetapan harga. Namun proposal reformasi itu sendiri sangat ambigu dan membingungkan. Ia menyebutkan sekitar tiga kategori harga, yang mengikuti contoh Cina dan Hungaria, namun tidak pernah menjelaskan secara mendetail apa lingkup masing-masing kategori tersebut. Ia samasekali tidak menyebut harga eceran. Selain itu, ia secara membingungkan menyatakan bahwa penetapan harga harus mencerminkan “biaya sosial yang dibutuhkan”. Pendeknya, seperti yang dikatakan Aslund, proposal reformasi ini “membentuk suatu campuran mustahil dari prinsip-prinsip yang saling bertentangan” (1989: 132).

Segera setelah diumumkannya proposal itu, Valentine Pavlov, Ketua Goskomtsen, mengeluarkan sebuah undang-undang otoritatif di Pravda. Ia menyatakan kembali bahwa, seperti yang dikutip oleh Aslund (1989: 132), Goskomtsen akan menetapkan harga-harga “bahan bakar dasar, bahan mentah, dan jenis-jenis produksi dasar yang lain.” Tidak banyak ruang yang diberikan kepada pasar untuk menentukan harga. Dengan kata lain, proposal reformasi tersebut gagal, bahkan sebelum ia dijalankan.

Usaha kedua dilakukan pada 1990, ketika Kelompok Shatalin mengusulkan program 500-hari kepada Majelis Agung Soviet. Program ini merupakan program yang paling radikal yang pernah diusulkan oleh para pembaharu. Ia mengusulkan untuk secara radikal membebaskan sistem harga, dalam jangka waktu yang sangat dekat. Namun, sekali lagi, kelompok garis keras, kali ini dipimpin oleh Gorbachev sendiri, berhasil menghalangi proposal ini. Majelis Agung Soviet menolak program tersebut. Dengan demikian, Uni Soviet pada dasarnya tetap memberlakukan sistem harga Stalinis hingga keruntuhannya pada 1991.

Industri dan Perdagangan
Dalam wilayah reformasi ini, pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para pembaharu Cina adalah: Pertama, membuat perusahaan-perusahaan negara lebih responsif terhadap realitas perdagangan yang terkait dengan kualitas dan tuntutan pasar. Didorong oleh eksperimen yang berhasil di bidang pertanian, mereka mencoba membuat industri dan perusahaan menjadi lebih efsien dan kompetitif dengan memperkenalkan Sistem Pertanggungjawaban Industri. Dalam sistem ini, meskipun pemerintah pusat masih memegang hak untuk memutuskan rencana-rencana makro-ekonomi, perusahaan-perusahaan negara dituntut untuk bertanggungjawab atas semua keputusan ekonomi mereka, serta atas keuntungan atau kerugian mereka. Mereka juga diizinkan memakai sebagian keuntungan mereka untuk bonus, kesejahteraan pekerja, dan inovasi-inovasi yang lain. Para manajer dan pekerja dengan demikian diberi lebih banyak insentif material untuk bekerja lebih keras dan lebih efsien. Pada 1980, 6.600 perusahaan negara telah masuk dalam sistem ini; dan pada akhir 1982 semua perusahaan industri.

Langkah kedua yang dijalankan oleh para pembaharu tersebut adalah merevitalisasi perekonomian kota dengan memberi prioritas yang lebih besar pada industri konsumen, industri ringan, dan industri jasa agar lebih maju. Dengan demikian obsesi untuk membangun industri-industri berat yang ambisius dibalikkan dan sampai tingkat tertentu diredam. Namun langkah paling penting dalam hal ini adalah keputusan pada awal 1980-an untuk lebih memajukan banyak perusahaan swasta berskala kecil, khususnya yang terkait dengan perusahaan-perusahaan konsumen dan jasa. Hasilnya: bisnis swasta bertambah banyak dari 100.000 pada 1978 menjadi 5,8 juta pada 1983, dan pada 1985 menjadi 17 juta (Hsu 1990: 852). Dibantu oleh reformasi harga di atas, perusahaan-perusahaan swasta merupakan sektor yang paling cepat tumbuh dalam industri Cina pada paruh pertama 1980-an, dengan rata-rata angka pertumbuhan 80% per tahun (Harding, 1987: 129).

Langkah ketiga dalam reformasi ini adalah dijalankannya Kebijakan Pintu Terbuka. Dengan kebijakan ini otoritas-otoritas lokal diperbolehkan untuk mengelola investasi asing tanpa persetujuan pemerintah pusat. Dan berbagai undang-undang baru, peraturan tentang pertanggungjawaban dan perlindungan paten dijalankan. Tujuan dasar dari semua langkah ini adalah untuk menarik lebih banyak investasi dan teknologi asing, serta untuk menghubungkan perekonomian Cina dengan pasar internasional.

Dan salah satu elemen penting dari kebijakan baru ini adalah keputusan untuk membuka zona-zona ekonomi khusus dan membuka berbagai kota sebagai laboratorium bagi model pembangunan masa depan, dan sebagai mata rantai langsung Cina dengan modal internasional. Keputusan ini dapat dikatakan merupakan cerminan dari rasa percaya diri budaya dan politik dalam menjalankan eksperimen ekonomi dengan kapitalisme. Dalam zona-zona ekonomi khusus dan kota-kota terbuka ini perusahaan asing diizinkan untuk beroperasi, praktis dengan andil kepemilikan 100%, mengangkat para pekerja sendiri, dan “memiliki” tanah dengan menyewanya selama berdekade-dekade. Hasilnya, zona-zona dan kota-kota terbuka ini menjadi jendela bagi perekonomian Cina ke dunia luar, yang sangat membantu perdagangan luar negerinya.

Dampak semua reformasi industri dan perdagangan itu sangat mengesankan. Sejak 1978 hasil industri tumbuh sekitar 10% per tahun. Antara 1978 dan 1986, perdagangan Cina dengan negara-negara lain meningkat 2,5 kali lipat. Andil barang-barang manufaktur dalam komposisi ekspornya meningkat dari 55,1 pada 1978 menjadi 62,5 pada 1986. Pada 1978 perdagangan Cina dengan AS adalah­ ­US$541 juta (defsit), pada 1984 menjadi US$320 juta (surplus). Andil industri jasa dalam GNP meningkat dari 18,7% pada 1980 menjadi 21,5% pada 1985, dan pada tahun ini juga industri ini mempekerjakan 73,68 juta orang (lihat Hsu, 1990; Harding 1987).

Di Uni Soviet, reformasi penting di wilayah industri dan perdagangan ini adalah diperkenalkannya Undang-Undang Perusahaan Negara pada 1987, undang-undang yang telah saya sebutkan di atas. Di bawah undang-undang ini setiap pabrik harus bertanggungjawab atas keuntungan dan kerugiannya, dan para direkturnya, alih-alih mengikuti rencana yang ditetapkan oleh para birokrat Moskow, diberi kebebasan untuk menandatangani kontrak dengan perusahaan industri lain. Dengan demikian, undang-undang ini merupakan suatu usaha penting untuk ke luar dari warisan sentralisasi Stalinis yang berlebihan.

Namun dalam praktik undang-undang ini memunculkan ambiguitas dan kebingungan bagi para manajer di berbagai perusahaan karena undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa aktivitas-aktivitas perusahaan harus didasarkan pada rencana negara (Brand, 1992). Keputusan-keputusan negara, yang melingkupi hampir semua hasil dari perusahaan-perusahaan negara, harus diberi prioritas tertinggi oleh industri—ini merupakan sistem komando lama dengan nama baru. Perusahaan-perusahaan tersebut juga tetap tunduk pada alokasi investasi modal dan suplai bahan negara. Pendeknya, seperti yang dijelaskan H. Brand (1992), “praktik kontrol pusat tetap berlaku meskipun lingkupnya agak dikurangi”.

Usaha reformasi lain yang penting dijalankan ketika koperasi-koperasi berskala kecil diperbolehkan beroperasi dalam perekonomian. Di bawah Undang-Undang tentang Koperasi yang baru, yang disahkan pada 1988, berbagai koperasi dalam praktik bisa mempekerjakan tenaga kerja sendiri, secara legal diizinkan untuk membentuk bank, menjual saham dan surat obligasi, dan mendapatkan bahan-bahan mentah dari pasar bebas. Satu keluarga dengan tiga orang dewasa diizinkan untuk membentuk sebuah koperasi dan mempekerjakan jumlah nonanggota yang tidak terbatas dengan dasar kontrak. Selain itu, koperasi-koperasi tersebut diberi hak kepemilikan—bukan atas tanah, melainkan atas mesin dan perlengkapan yang digunakan dalam produksi.

Dari sisi ekonomi, reformasi ini merupakan reformasi paling liberal yang pernah dijalankan di Uni Soviet selama masa Gorbachev. Jika diperbandingkan, lingkup reformasi ini tentu saja tidak seluas—dan seberani—seperti yang dijalankan di Cina. Namun, menurut Hendrik Smith (1991), undang-undang koperasi yang melegalkan reformasi ini merupakan piagam hukum pertama bagi perusahaan swasta di Uni Soviet sejak periode NEP pada 1920-an. Dan dampaknya samasekali tidak buruk: pada 1990 terdapat sekitar 110.000 koperasi dalam berbagai jenisnya yang beroperasi; pada 1991 jumlah ini menjadi 245.300 (White, 1992: 119). Pada 1989, koperasi-koperasi tersebut memiliki andil sekitar 5% dari hasil kotor nasional (New York Times, 13 Mei 1990).

Dalam perdagangan luar negeri, langkah-langkah yang diambil sejak 1987 sekali lagi mencerminkan ambiguitas dan inkonsistensi reformasi ekonomi tersebut. Pada Januari 1987, Kementerian Perdagangan Luar Negeri dicabut monopolinya. 20 cabang kementerian dan 70 asosiasi besar kemudian diberi hak untuk menjalankan perdagangan luar negeri. Namun sebuah badan kementerian-super juga dibentuk untuk “mengkoordinasi” 20 kementerian dan 70 asosiasi ini. Karena itu, reformasi ini pada dasarnya mengubah monopoli perdagangan luar negeri dari satu birokrasi-super ke yang lain (White, 1992: 121).

Sebuah dekrit baru untuk menarik investasi luar negeri juga dikeluarkan pada 1987. Namun dekrit tersebut mengandung banyak kewajiban dan aturan yang samasekali tidak menarik: bagian Soviet atas sebuah perusahaan paling tidak harus 51%; presiden direktur dan manajer umum harus orang Soviet; kongsi usaha harus dipisahkan dari pasar domestik, dan dipaksa untuk membeli dari, dan menjual kepada, perusahaan-perusahaan Soviet melalui asosiasi-asosiasi perdagangan luar negeri Soviet, dll.

Karena itu, dekrit reformasi itu mengandung berbagai kontradiksi pada dirinya sendiri. Tidak mengherankan jika hasilnya mengecilkan hati: pada Juli 1988 hanya 66 kongsi usaha yang didaftarkan, sebagian besar darinya adalah usaha-usaha kecil; pada Januari 1990 hanya 337 kongsi usaha yang mulai menjalankan bisnis mereka (White, 1992: 120; Aslund, 1988: 140).

Mencari Penjelasan-penjelasan Sosio-politik
Kita telah melihat bahwa di Uni Soviet reformasi ekonomi tidak dijalankan seluas dan seberani di Cina. Untuk melucuti warisan ekonomi Stalinis, reformasi ekonomi selama era Gorbachev tampaknya mengandung ambiguitas, kesetengah-hatian, dan ketidak-konsistenan. Di Cina, meskipun benar bahwa peran fundamental pemerintah pusat dan banyak warisan sosialis dipelihara, reformasi ekonomi pada akhir 1980-an dijalankan dengan berbagai inovasi baru untuk membuka sebuah horison ekonomi baru. Kebijakan Pintu Terbuka yang telah saya kemukakan di atas, misalnya, merupakan ekspresi kepercayaan-diri untuk memutuskan hubungan dengan warisan keterpencilan ekonomi dan ideologis masa lalu, demi untuk mencoba dan belajar sesuatu yang baru. Hal tersebut merupakan suatu langkah pragmatis, namun memiliki implikasi-implikasi yang fundamental. Dan reformasi pertanian—yang mengubah Cina dari pengimpor menjadi pengekspor bahan makanan dalam kurang dari satu dekade—merupakan suatu tindakan yang sangat tepat untuk meninggalkan masa lalu Stalinis-Maois.

Mengapa perbedaan yang mencolok itu terjadi? Mengapa para pembaharu Soviet, tidak seperti Cina, gagal melakukan serangkaian reformasi ekonomi yang baik?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, salah satu penjelasan yang paling umum adalah dengan menghubungkan reformasi ekonomi dengan reformasi politik, dan menyalahkan yang terakhir ini untuk kegagalan yang pertama. Argumen dasar penjelasan ini adalah bahwa para pemimpin Cina bisa melakukan apa yang mereka lakukan di wilayah ekonomi tersebut karena mereka menjaga struktur politik otoriter tidak berubah. Mereka bisa bergerak dengan cepat, pasti, dan menjalankan berbagai inovasi ekonomi yang berani karena mereka tidak harus menghadapi kekacauan yang dihasilkan oleh sistem politik yang terliberalkan. Sebaliknya, menurut penjelasan ini, Gorbachev mulai dengan reformasi politik, atau paling tidak mulai mereformasi perekonomian pada saat yang sama ketika ia menghancurkan warisan-warisan politik Stalinis. Meskipun reformasi politik yang ia lakukan mungkin secara moral tampak bagus, hal itu bukan merupakan suatu langkah taktis, karena Gorbachev membutuhkan kekuasaan yang kuat dan otoriter untuk menanamkan program-program baru pada sistem ekonomi yang usang dan lapuk.

Jenis penjelasan ini, menurut saya, tidak terlalu meyakinkan. Memang penjelasan ini mungkin benar sampai tingkat tertentu, namun hanya jika, dalam kasus Soviet, kita berbicara tentang 3 tahun terakhir era Gorbachev, ketika berbagai kekuatan, baik kanan maupun kiri, yang diakibatkan oleh reformasi politiknya menciptakan banyak rintangan bagi kekuasaannya. Namun, dalam 4 tahun pertama masa kekuasaannya, sebelum Kongres Wakil Rakyat dibentuk, kekuasaan Gorbachev tidak kurang kuat dibanding kekuasaan Deng. Untuk beberapa tahun pertama ia adalah kepala sebuah struktur politik yang otoriter, sebagaimana halnya Deng—namun ia tidak menjalankan suatu reformasi ekonomi yang signifkan, kuat dan ber­jangkauan-luas sebagaimana yang dilakukan Deng untuk melucuti warisan ekonomi Stalinis. Dalam reformasi pertanian seperti yang telah kita lihat sebelumnya, misalnya, ia menjalankan reformasi yang pada akhirnya memberikan kekuasaan yang lebih pada birokrasi pusat, yakni kementerian-super yang baru, sebelum ia benar-benar mulai meliberalisasi sistem politik.

Selain itu, dalam kasus Cina, jelas tidak benar jika kita berkata bahwa para pemimpin Cina tidak mereformasi sistem politik pada saat yang sama ketika mereka mereformasi ekonomi. Sejak 1978, beberapa langkah penting diambil untuk melonggarkan kehidupan budaya dan intelektual, memperluas basis partisipasi rakyat, memisahkan partai dari pemerintah, merasionalisasi dan mereorganisasi militer, dan menciptakan basis yang lebih kuat untuk mewujudkan supremasi hukum (lihat Harding, 1987). Salah satu hasil dari semua reformasi politik ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an di Cina, di bawah Deng, terjadi serangkaian gerakan intelektual “liberal” yang menuntut reformasi politik yang lebih besar yang, seperti yang kita semua tahu, berpuncak pada Lapangan Tiananmen pada 1989. Meskipun Deng tidak bergerak sejauh Gorbachev dalam meliberalisasi sistem politik dengan mendorong sebuah pemilu umum yang “bebas”, misalnya—seperti yang dilakukan Gorbachev pada akhir 1980-an—reformasi politik yang ia lakukan bagaimanapun juga merupakan suatu langkah penting dalam mengubah Cina menjadi, dalam bahasa Harding, sebuah sistem otoriter konsultatif.

Jadi, penjelasan tersebut tidak sepenuhnya benar. Ia gagal menjelaskan mengapa Gorbachev, misalnya, pada tahun-tahun awal pemerintahannya, ketika reformasi politiknya belum terjadi, tidak dengan tegas berusaha melucuti warisan-warisan ekonomi Stalinis. Penjelasan tersebut juga tidak membantu kita memahami mengapa para pemimpin Cina, tidak seperti para pemimpin Soviet, bisa berhasil dalam menjalankan reformasi ekonomi berskala luas ketika mereka juga mereformasi sistem politik.

Bagi saya, penjelasan yang lebih tepat mungkin harus melihat kenyataan bahwa di Uni Soviet, ketika Gorbachev dan para pembaharu lain berkuasa, negara itu telah mengalami 25 tahun Stalinisme yang begitu mengakar, dengan tingkat keketatan ideologis yang sangat tinggi, di bawah Stalin dan 20 tahun Stalinisme yang stagnan di bawah Brezhnev. Sejarah panjang keketatan dan stagnasi ideologis, seperti yang dijelaskan Zbigniew Brzezinski (1989), membekukan negeri itu dan menjadikannya sangat sulit untuk menerima eksperimen reformasi apapun.

Sebaliknya, di Cina para pembaharu memimpin sebuah negeri yang terus-menerus menjalankan eksperimen-eksperimen sejarah untuk mencari jalannya sendiri dan memperbaiki model Stalinis sejak model ini diteguhkan setelah Rencana Lima Tahun Pertama pada akhir 1950-an. Republik Rakyat Cina adalah suatu republik eksperimen, negeri dengan politik yang terus-menerus bercecabang dan berbagai pembalikan kebijakan yang dramatis. Inovasi-inovasi kebijakan yang mulai setelah Majelis Umum Ketiga pada Desember 1978 dapat dilihat, dari perspektif ini, sebagai kelanjutan dari eksperimen historis yang panjang tersebut dalam bentuk yang lain, dan juga dalam arah yang sangat berbeda.

Selain itu, perbedaan sejarah ini diperkuat dengan perbedaan kepemimpinan—faktor agensi manusia yang sangat penting dalam jalannya reformasi. Di sini kita bisa berkata bahwa, dalam kasus Soviet, Gorbachev, meskipun ia adalah seseorang yang berpandangan ke depan dan demokratis, masih merupakan seorang fungsionaris komunis (apparatchik), seseorang yang telah menghabiskan 25 tahun hidupnya untuk membangun kariernya di dalam sistem usang yang ingin ia segarkan kembali. Bahkan ketika ia ingin mereformasinya, ia tidak bisa bergerak terlalu jauh dari apa yang telah ia pelajari di bawah sistem tersebut (Kaiser, 1992).

Selain itu, Gorbachev, bahkan hingga masa-masa akhir kekuasaannya, tidak pernah memberi tujuan praktis yang jelas dan tegas dari reformasi ekonominya. Memang ia memberikan banyak pidato dengan kata-kata kunci seperti “uskoreniye” dan “perestroika”, yang menarik perhatian dunia. Ia menulis sebuah buku, yang menarik pembaca di seluruh dunia, dan di dalamnya ia berbicara tentang “perubahan-perubahan revolusioner”, “gerakan historis”, “angin kedua sosialisme”. Kata-kata kunci ini, seperti yang telah umum kita tahu, memang menyebarkan suatu gelombang baru semangat politik di Uni Soviet—semua itu membangunkan raksasa yang tertidur. Namun dari sudut pandang ekonomi, kata-kata ini tidak memancing apa-apa kecuali kebingungan. Anders Aslund, ekonom Swedia yang tinggal selama tiga tahun di Moskow di puncak kekuasaan Gorbachev dan mengamati dengan cermat jalannya reformasi ekonomi tersebut, mencoba menemukan makna praktis sejati kata “perestroika”—dan, pada 1991, ia sampai pada kesimpulan bahwa baginya “perestroika” adalah konsep yang kabur, sebuah kata misterius yang tak seorang pun yang benar-benar tahu apa maknanya, mungkin bahkan Gorbachev sendiri.

Dan, seperti yang ditulis Zbigniew Brzezinski (1989), pada pertengahan dekade 1980-an bukan hanya Gorbachev, melainkan juga sebagian besar pembaharu di Uni Soviet, yang masih terjangkiti keketatan ideologis, suatu ketidakmampuan untuk berpikir jauh melampaui ortodoksi ideologis yang ada. Jadi, ketika mereka memulai reformasi ekonomi, program-program yang mereka jalankan tidak dengan tegas terputus dengan masa lalu Stalinis. Mereka tampak ambigu, setengah-hati, ketika mereka harus memilih apakah masuk dengan cepat ke dalam ekonomi pasar atau secara bertahap mereformasi sistem tersebut dengan menggunakan pendekatan birokratis dan dari atas ke bawah.

Sebaliknya, di Cina, Deng adalah seorang pemimpin yang bisa melampaui ortodoksi ideologis dan mengatasi birokrasi yang ada—ia pernah menjadi korban ortodoksi ideologis ketika ia mencoba, bersama Liu Shaoqi, untuk memodernisasi sistem Stalinis tersebut pada awal 1960-an. Ia ambil bagian dalam revolusi dan, tidak seperti Gorbachev, tidak menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai seorang birokrat atau seorang aparat partai. Ketika ia sekali lagi berkuasa pada akhir 1970-an, setelah melalui suatu perjuangan keras untuk bertahan hidup, ia menjadi tahu bagaimana mengesampingkan ortodoksi dan menempatkan ideologi sebagai hal sekunder untuk mencapai tujuan-tujuan praktisnya.

Deng sang pembaharu adalah Deng sang pragmatis yang, tidak seperti Gorbachev, dengan jelas mendefnisikan apa yang ingin ia lakukan terhadap negerinya. Pada Desember 1979, PM Jepang, Masayoshi Ohira, yang sedang berkunjung bertanya: “Apa tujuan Empat Modernisasi anda?” Deng dengan cepat menjawab bahwa tujuannya adalah melipat-empatkan GNP saat itu dari US$250 miliar menjadi US$1 triliun pada akhir abad, dengan GNP per kapita US$1.000 (Hsu, 1990: 841-842). Jawaban tersebut mungkin terlalu sederhana, namun bagaimanapun juga hal itu memperlihatkan suatu determinisme untuk mencapai suatu tujuan praktis yang jelas, tanpa secara kabur mencampuradukkannya dengan ortodoksi ideologis dan retorika muluk-muluk, seperti yang dilakukan oleh hampir setiap pemimpin komunis.

Para pembaharu Cina, tidak seperti para pemimpin Soviet, memperlihatkan banyak contoh tentang bagaimana mereka secara ideologis feksibel dan pragmatis dalam usaha mereka untuk mengubah negeri mereka. Hu Qiaomu, misalnya, ketika menyampaikan pidato di depan Dewan Negara pada awal 1980-an, menyampaikan seruan untuk “mengelola perekonomian dengan sarana-sarana ekonomi” dan mempelajari pengalaman negara-negara kapitalis (lihat Nina Halpern 1985: 1003). Hu Qili, saat berbicara dengan para propagandis partai beberapa saat setelah Kongres Partai ke-13, memberikan suatu panduan umum: “Apapun yang menguntungkan perkembangan kekuatan-kekuatan produktif diharuskan atau diizinkan oleh sosialisme, dan apapun yang tidak menguntungkannya bertolak belakang dengan sosialisme ilmiah” (dikutip dalam Brzezinski 1989: 174). Fleksibilitas seperti ini dapat dipastikan membuka ruang bagi inovasi ekonomi yang lebih luas, serta kemungkinan yang jauh lebih luas untuk belajar bahkan dari pusat-pusat kapitalisme dunia.

Jadi, singkatnya, semua perbedaan antara para pembaharu di Cina dan Uni Soviet bisa digunakan sebagai dasar bagi penjelasan yang lebih memadai dalam memahami jalannya reformasi ekonomi tersebut. Para pemimpin Cina, dibanding para pemimpin Soviet, lebih memiliki faktor-faktor yang dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi baru yang tegas dan berani untuk mengikis warisan Stalinis-Maois mereka. Karena itu tidak mengejutkan jika di Cina, seperti yang telah kita lihat sebelumnya, sejak awal 1980-an arah dasar reformasi ekonomi telah dihamparkan dengan cukup jelas; sementara di Uni Soviet, bahkan hingga akhir era Gorbachev, arah sebenarnya dari reformasi ekonomi masih diperdebatkan di kalangan para pemimpinnya.

Memang, terlalu menekankan faktor agensi manusia (kepemimpinan) ini akan menjadikan penjelasan kita sangat menyederhanakan. Faktor-faktor kepemimpinan penting, namun semua itu diterapkan dan diwujudkan dalam keadaan dan realitas struktural tertentu, yang membantu atau merintangi para pemimpin dalam menjalankan reformasi. Dalam hal ini kita misalnya bisa melihat kenyataan bahwa Uni Soviet terdiri atas banyak bangsa yang berbeda, yang seringkali bermusuhan satu sama lain. Di republik-republik Baltik, Ukraina, dan Georgia misalnya, tuntutan akan otonomi yang lebih besar dari otoritas Rusia terus-menerus dilancarkan. Dalam keadaan seperti ini, tidak mudah bagi Gorbachev untuk membuka zona-zona ekonomi baru atau membentuk kota-kota terbuka di tempat-tempat tertentu sebagaimana yang dilakukan Deng di Cina, karena hal itu akan menyebabkan ketidakseimbangan regional yang lebih besar yang pada akhirnya akan memperdalam konfik nasional. Memberi kesempatan bagi republik-republik Baltik (Lithuania, Latvia, Estonia) untuk membuka suatu wilayah perdagangan bebas dengan negara-negara Skandinavia yang kaya dan terindustrialisasi—yang, dari sudut pandang ekonomi, akan sangat menguntungkan—sangat berbahaya bagi Uni Soviet karena rakyat mereka akan memiliki alasan yang lebih besar untuk menuntut liberalisasi dari “imperialisme” Rusia.

Sebaliknya, di Cina, mayoritas rakyatnya adalah bangsa Han, dan hubungan di antara berbagai etnis jauh kurang bermusuhan dibanding di Uni Soviet. Karena itu, Cina yang terdesentralisasi, sebagaimana yang dikemukakan Brzezinski (1989: 178), “masih akan merupakan satu Cina”, sedangkan Soviet yang terdesentralisasi akan merupakan suatu kekaisaran yang terpecah-pecah—dan sekarang ini kita tahu bahwa hal ini benar. Zona-zona ekonomi dan kota-kota terbuka tidak akan memecah-belah Cina.

Pendeknya, keadaan obyektif, kepemimpinan, dan pengalaman historis penting. Dalam menjelaskan dan membandingkan jalannya reformasi ekonomi di Cina dan Uni Soviet

kita tidak harus terpaku hanya pada satu dasar. Gorbachev dan Deng: para pembaharu ini merupakan pemain-pemain yang sangat penting, dan kemampuan mereka, atau kekurangan mereka, sebagai seorang pemimpin membantu kita dalam memahami proses reformasi ekonomi yang mereka jalankan. Namun banyak faktor lain—historis, sosial, atau struktural—yang harus dipertimbangkan untuk menjadikan pemahaman kita lebih menyeluruh. Proses reformasi—sosial, politik, atau ekonomi—bagaimanapun juga merupakan bagian dari proses sejarah yang rumit. Dan sejarah, seperti yang kita tahu, tidak berjalan hanya dengan satu kaki.

Daftar Rujukan

1. Aslund, Anders, Gorbachev's Struggle for Economic Reform, 1989, Pinter Publisher, London.
2. Bell, Daniel, “Socialism and Planning”, Dissent, Winter 1991.
3. Brand, H., “Why the Soviet Economy Failed”, Dissent, Spring 1992.
4. Brzezinski, Zbigniew, The Grand Failure: The Birth and Death of communism in the twentieth century, 1989, Charles S. Sons, New York.
5. Desai, Padma, Perestroika in Perspective, 1989, Princeton University Press.
6. Harding, Harry, China’s Second Revolution: Reform After Mao, 1987, The Brookings Inst.
7. Halpern, Nina, “China’s Industrial Economic Reform”, Asian Survey, Vol. xxv, Oct. 1985.
8. Hsu, Immanuel, The Rise of the Modern China, 1990, Oxford Univ. Press.
9. Kennedy, Paul, The Rise and Fall of the Great Power: economic change and Military confict from 1500 to 2000, 1987, Random House.
10. Riskin, Carl, china’s political economy: the Quest for Development Since 1949, 1987, Oxford Univ. Press.
11. Shemelev, Nikolai, dan Popov, Vladimir, The Turning Point: Revitalizing the Soviet Economy, 1989.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.