Revolusi Cina

Foto oleh Barry Tan dari Pexels

Revolusi Cina merupakan salah satu peristiwa besar di abad ke-20. Baik atau buruk, Revolusi Cina, serta Revolusi Ok­tober di Rusia, menandai sebuah periode dalam sejarah modern kita, saat perpaduan komunisme dan nasionalisme menjadi kekuatan pendorong terbesar bagi perubahan sosial.

Dalam esai pendek ini saya akan membahas mengapa Revolusi Cina terjadi. Saya juga akan mencoba untuk melihat mengapa kaum Komunis muncul sebagai pemenang dalam revolusi tersebut.

Menurut Lucien Bianco, sebab utama revolusi tersebut tertanam dalam realitas sosial Cina pra-1949: masalah kaum petani. Karena hubungan-hubungan struktural di pedesaan (yakni penghisapan oleh kelas atas, pajak yang terlalu besar oleh nega­ra feodal, dll.) kaum petani dipaksa untuk memikul bagian ter­berat dari pembagian kerja dan pembagian sosial. Karena itu, dalam sebagian besar sejarah Cina modern, kaum petani men­­derita. Pemerintahan nasionalis/militer yang berkuasa setelah negara feodal tersebut runtuh pada 1912 gagal memecahkan persoalan ini. Persoalan sosial yang mendasar tersebut tetap tak terpecahkan: karena itu, revolusi sosial merupakan satu-satunya pilihan bagi kaum petani untuk memecahkan persoalan mereka.

Bagi Bianco, imperialisme dan strategi Tentara Merah juga me­­mainkan peran penting. Imperialisme Jepang membangkitkan na­sionalisme Cina, suatu perasaan solidaritas kuat yang dida­sarkan pada kecintaan pada tanahair, yang dimanfaatkan oleh kaum Komunis dengan sangat baik untuk mendukung per­juangan revolusioner mereka. Strategi Tentara Merah dalam pe­rang gerilya terbukti merupakan suatu faktor yang menen­tukan baik da­lam memobilisasi rakyat, terutama di pedesaan, un­tuk me­lawan invasi tersebut, maupun dalam menaklukkan pa­sukan mi­liter Guomindang dalam Perang Saudara setelah Jepang kalah. Ringkasnya, kita dapat mengatakan bahwa bagi Bianco, sebab utama revolusi tersebut adalah struktur sosial yang ter­tanam di wilayah-wilayah pedesaan. Namun juga diperlukan faktor-faktor lain untuk mendorong, membentuk, dan mentrans­formasikan sebab sosial ini menjadi perjuangan revolusioner dan kemenangan kaum Komunis—dan faktor-faktor iniadalah imperialisme dan strategi Tentara Merah.

Seperti halnya setiap peristiwa besar dalam sejarah modern kita, Revolusi Cina merupakan sebuah peristiwa yang kompleks. Tidak ada satu sebab tunggal yang bisa dianggap sepenuhnya bertanggungjawab terhadap terjadinya Revolusi tersebut. Namun, untuk tujuan analisis kita, kita perlu menyederhanakan pe­ristiwa besar dan rumit tersebut dan mencari dua atau tiga faktor untuk diberi penekanan. Dalam hal ini, saya cenderung menyetujui sebagian besar dari argumen utama Bianco. Namun, sebagaimana yang akan saya jabarkan di bawah, saya akan melihat sebab revolusi tersebut dan dampak-dampaknya dari su­dut pandang yang sedikit berbeda (yakni kegagalan Guomin­dang), dan akan memberi penekanan pada peran impe­rialis­me dan kepemimpinan. Dengan kata lain, bukan hanya struk­tur so­­sial, melainkan juga gagasan dan pilihan, yang di­anggap pen­ting dalam memahami Revolusi tersebut dan dampak-dam­pak­nya.

***

Jika kita membaca buku Bianco itu secara cermat, khususnya pada bab empat dan lima, kita akan sampai pada ke­simpulan bahwa Guomindang sejak awal telah ditakdirkan gagal dalam memecahkan persoalan sosial yang mendasar ter­sebut karena tujuan utamanya adalah revolusi nasional (ke­satuan dan kemerdekaan) dan reformasi sosial. Baginya, kontradiksi di sektor rural-agrikultural terlalu besar: hanya revolusi sosial yang dapat membebaskan kaum petani dari penderitaan mereka yang semakin besar. “Jalan tengah” tidak akan berhasil. Karena itu, alasan mengapa persoalan sosial yang mendasar tersebut tetap tak terjawab, dan kemudian melapangkan jalan bagi revolusi, bersifat struktural.

Terdapat beberapa kebenaran dalam penjelasan struk­turalini. Namun, menurut saya, terlalu menekankan penjelasan struk­tural ini cenderung mengabaikan beberapa faktor yang juga sangat penting. Faktor-faktor ini adalah faktor-faktor po­litik dan kepemimpinan.

Pertama, faktor-faktor politik. Chiang Kai-shek, dalam obsesinya untuk menyatukan negeri tersebut dalam waktu singkat setelah Ekspedisi Utara, harus banyak berkompromi dengan para pemimpin militer (Hsu, 1990: 572). Ia kemudian harus bergantung pada kekuatan para pemimpin militer ini sebagai basis kekuasaan Guomindang. Hal ini menjadikan dia tawanan kepentingan para pemimpin militer tersebut. Selain para pemim­pin militer ini, Chiang juga mendasarkan rezimnya pada dukungan para saudagar dan bisnis-bisnis besar.

Aliansi politik ini menghalangi Guomindang untuk secara efektif memecahkan persoalan petani tersebut. Para pemimpin militer tersebut enggan melihat reformasi radikal di pedesaan yang pada akhirnya hanya akan membahayakan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Akibatnya: Guomindang tidak bisa menjalankan reformasi tanah (redistribusi tanah), yang mungkin bisa merupakan suatu pemecahan yang baik bagi persoalan sosial di pedesaan ini. Dalam hal ini, novelis Pearl S. Buck, yang lahir di Cina dan menghabiskan sebagian besar hi­dupnya di sana hingga 1933, berkata:

Pemerintahan nasionalis tersebut tampak tidak dapat me­laku­kan suatu reformasi nyata dalam hal distribusi tanah dan se­mua usaha lain karena itu hanya bersifat memperbaiki. Pa­­da pertengahan 1935, jelas bahwa bahaya terbesar bagi ke­­ber­lanjutannya adalah pengabaiannya akan reformasi tanah. Ia telah menjadi sebuah pemerintahan dari dan bagi ke­­­las pemilik tanah dan melawan kaum petani. (Buck, 1970:292)

Benar bahwa Guomindang membuat beberapa kemajuan. Hsu (1990: 565-570) melihat bahwa terjadi beberapa perbaikan khu­susnya dalam bidang finansial, pendidikan, pembangunan industri, dan transportasi. Di bidang transportasi, misalnya, pada 1936 jaringan jalan raya menghampar sepanjang 115.703 km, dibanding hanya 1.000 km pada 1921; dan dalam periode 1929-32, sistem jalan kereta api hampir berlipat dua. Namun hampir semua kemajuan ini segera tertelan oleh, dan menguap karena, luasnya wilayah Cina dan besarnya persoalannya. Untuk memberi contoh betapa sulitnya bagi suatu pemerintahan untuk memodernisasi Cina, Profesor R.H. Tawney pada 1932 berkata bahwa meskipun 10.000 mil jalan kereta api dibangun setiap tahun di Cina, negeri itu sedemikian luas sehingga memer­lu­kan 180 tahun sebelum Cina memiliki sebuah jaringan ja­lan kereta api yang memadai sebagaimana Britania (Buck, 1970: 300).

Keluasan wilayah-wilayah Cina dan besarnya masalah-masalahnya mungkin merupakan petunjuk terbaik bahwa Chiang, alih-alih berkonsentrasi pada reformasi finansial dan pem­bangunan militer, pertama-tama harus berkonsentrasi pada pe­mecahan persoalan-persoalan utama di wilayah pedesaan (dimana lebih dari 80% orang hidup di sana). Sebagaimana dikemukakan oleh Buck di atas, tanpa perbaikan dalam ke­hidupan kaum petani (melalui reformasi tanah, misalnya), se­tiap langkah untuk memodernisasi negeri itu hanya bersifat perbaikan. Namun, karena berbagai rintangan politiknya, Chiang tidak melakukan apa yang harus ia lakukan: tepat sebelum Jepang datang, menjadi jelas bahwa cepat atau lambat para petani dapat dipastikan akan menerima perjuangan Komunis untuk melakukan revolusi melawan Guomindang.

Kedua, kepemimpinan. Jika kita membebaskan diri dari determinisme politik, sangat mungkin untuk berspekulasi bahwa bahkan di bawah rintangan politik yang besar, sebuah kepemimpinan yang cerdas, berani, dan berpandangan luas bisa melindungi Guomindang dan memimpinnya untuk menghadapi para penantangnya. Namun, sayangnya, Chiang Khaisek tidak dapat menyediakan kepemimpinan seperti itu. Ia adalah seorang prajurit dan hanya memiliki pendidikan seorang prajurit. “Hingga tahun-tahun terakhir rezimnya,” tulis Pearl S. Buck, “di hatinya ia tetap seorang prajurit dan belanja kebutuhan militer selalu merupakan sesuatu yang utama. Dan tidak seperti Mao Zedong, Chiang bukan seorang intelektual, juga bukan seorang teoretisi” (1970: 286).

Mungkin Chiang memiliki kualitas untuk menjadi seorang komandan militer yang bagus: keberanian, ketulusan, asketisme. Namun kualitas-kualitas ini tidak memadai untuk menjadi seorang pemimpin yang tantangannya bukan hanya tantangan militer, melainkan juga tantangan politik dan sosial. Menjadi seorang pemimpin yang baik di tahun 1928-1937 yang begitu pelik berarti menjadi seperti Pemimpin Mao di masa Yanan: seorang komandan militer yang hebat, dan pada saat yang sama juga seorang intelektual yang berpandangan jauh, seorang politisi yang lentur, kawan yang bisa dipercaya, dan seorang ahli strategi yang selalu belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya.

Selain itu, Chiang tampak tertekan karena wataknya yang penuh kecurigaan. Ia tidak mempercayai siapapun kecuali keluarganya sendiri dan beberapa koleganya, dan karena itu banyak menyingkirkan dari kepemimpinannya orang-orang yang cakap dan baik—antara lain Hu Hanmin, Wang Jingwei, Li Zongren, dan K.C. Wu; (Pearl S. Buck mencatat bahwa pada 1951 Chiang menjadi orang yang terasing tanpa sahabat).

Pendeknya, kepemimpinan Chiang tidak sesuai dengan masanya dan tantangan-tantangannya. Faktor ini, dan rintangan-rintangan politik yang telah disebutkan di atas, memiliki andil dalam kegagalan Guomindang dalam memecahkan persoalan sosial yang mendasar tersebut. Dan karena itu, sebelum krisis yang dihamparkan oleh invasi Jepang, benih-benih revolusi telah tertanam.

***

Dengan datangnya Jepang, dan dengan segala kekejaman dan kekejiannya, benih-benih revolusi tersebut bersemai dan mendapatkan bentuk. Di sisi lain, dampak langsung dari imperialisme Jepang ini, menurut Maurice Meisner, tentu saja adalah penghancuran fondasi Guomindang:

Invasi Jepang tersebut meruntuhkan fondasi rezim Guomin dang, karena kaum Nasionalis tersingkir dari kota-kota besar yang menjadi sumber dukungan finansial dan politik utama me­reka. Bagi Guomindang, dampak peperangan tersebut adalah kekacauan ekonomi dan korupsi birokratis yang begitu besar—dan, akhirnya, demoralisasi total (Meisner, 1986: 37).

Di sisi lain, perang tersebut membuka jalan bagi kaum Komunis untuk memperkuat posisinya. Sekali lagi, kesalahan Chiang merupakan bagian dari alasannya. Setelah kalah dalam peperangan di Wuhan, Chiang pada Oktober 1938 memutuskan untuk menarik diri ke pedalaman selatan, Chongqing. Namun, seperti yang dikemukakan Bianco, dalam melakukan hal itu Chiang gagal melakukan satu hal yang sangat penting “yang akan menjadikan strategi perang lokalnya sangat efektif—yakni melakukan perang gerilya di belakang garis-garis pertahanan Jepang” (1971: 149).

Kesalahan ini menjadikan wilayah-wilayah luas di timur dan utara berada dalam kekuasaan pasukan gerilya Ten­tara Merah: mereka adalah satu-satunya pihak yang tersisa yang mencoba memerangi Jepang. Hal ini juga menjadikan kaum Komunis satu-satunya sahabat bagi rakyat yang bisa di­mintai perlindungan ketika mereka disiksa oleh orang-orang Jepang atau para bandit lokal. Pendeknya, kesalahan Chiang untuk tidak melancarkan perang gerilya yang terkoordinasi me­mungkinkan kaum Komunis untuk menjadi sahabat-pelindung di hati rakyat. Dengan kata lain, invasi tersebut menjadikan ka­um Komunis sebagai pahlawan nasional. Merekalah para pa­triot, dan karena itu dengan mudah merebut hati rakyat (setelah Jepang pergi, kesalahan ini secara militer sangat pen­ting bagi Ten­­tara Merah: pada 1945 wilayah-wilayah luas di utara dan ti­mur berada dalam kontrol kaum Komunis).

Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa sebagaimana dikemukakan oleh Chalmer Johnson, invasi tersebut membangkitkan nasionalisme kaum petani, “suatu nasionalisme massa yang sangat berbeda dari nasionalisme kaum intelektual”. Nasionalisme kaum intelektual pada dasarnya bersifat borjuis; sebaliknya, nasionalisme kaum petani lebih primitif dan kuat, yakni “nasional­isme keputus-asaan” (Bianco, 1971: 154). Sebagai satu-satunya sahabat yang tersisa di wilayah-wilayah pedalaman di be­lakang garis-garis pertahanan Jepang, kaum Komunis me­miliki ke­sempatan untuk mengubah “keputusasaan” ini menjadi sebuah gerakan revolusioner. Hasilnya: semakin banyak orang yang bergabung dengan gerakan perlawanan di bawah bendera ko­munisme tersebut (Tentara Merah). Pada 1937, menurut Bianco, terdapat 80.000 orang dalam Tentara Merah; namun pa­da 1945 terdapat 900.000 orang ditambah pasukan milisi yang terdiri atas 2,2 juta orang (1971: 150).

Terlepas dari kesalahan Chiang tersebut, perbaikan besar posisi kaum Komunis selama invasi tersebut hendaknya juga dilihat sebagai akibat dari strategi Mao dan Tentara Merah. Di sini kita dapat berkata bahwa sebagian besar fondasi faktor ini dibentuk selama periode Yenan. Setelah mempelajari kesalahan-kesalahan di Jianxi, Mao merangkul siapa saja yang bersedia untuk ikut dalam “kesadaran proletariat”, terlepas dari apapun kelas sosialnya (lihat Meisner 1986: 46-46).

Hal ini berarti bahwa Mao mencoba—dan berhasil—merangkul para petani yang terampil dan juga kaum borjuis dalam perjuangan revolusionernya; dan dengan demikian secara substansial menambah kekuatan strategisnya. Dalam periode ini Mao juga memperkenalkan metode-metode ekonomi seperti swasembada, swakarya, dan inisiatif lokal; dan mendorong gaya hidup yang didasarkan pada nilai-nilai seperti egalitarianisme, asketisme, kerja keras, dan disiplin diri.

Pendeknya, “warisan-warisan Yanan” membuat kaum Komunis lebih dekat dengan rakyat, dan pada saat yang ber­samaan memberi inspirasi pada rakyat untuk berpikir bahwa satu-satunya harapan bagi masa depan Cina terletak pada apa yang sedang dibangun Mao.

Sulit dikatakan apakah kesalahan Chiang atau kreativitas Mao yang pada akhirnya paling punya andil bagi kemajuan pesat posisi kaum Komunis selama periode imperialisme Jepang. Menekankan yang pertama mengandaikan bahwa kita hanya melihat sejarah dari kegagalan mereka yang kalah; dan sebaliknya, menggaris-bawahi yang kedua cenderung menjadikan kita membesar-besarkan superioritas para pemenang dalam proses sejarah yang tidak pasti dan kompleks. Namun mungkin ada satu hal yang jelas bisa dikemukakan: karena kedua faktor ini, pada bulan-bulan pertama setelah Jepang dikalahkan kemenangan kaum Komunis telah di depan mata.

18 Januari 1993

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.