Setelah Kedatangan Awanohara

Gambar oleh kalhh dari Pixabay

Wartawan perlu peralatan metode penelitian sosial supaya tak dikelabui sumbernya.

SEORANG dosen Universitas Gadjah Mada memperkenalkan saya dengan seorang koresponden Far Eastern Economic Review di Jakarta. Namanya Susumu Awanohara. Potongannya tak meyakinkan. Kacamata tebalnya pasti sudah terguling kalau tak terganjal ujung hidungnya yang tampak enggan menonjolkan diri. Sisirnya tentu harus berjuang keras untuk menaklukkan rambut ijuknya yang diselingi belasan lembar uban.

Awanohara-san mengungkapkan niatnya meliput kegiatan kaum muda muslim Indonesia seiring menggejalanya "kebangkitan Islam kultural" akibat kefrustrasian kalangan Islam di pentas politik. Saat itu pengajian marak digelar di kampus-kampus dan masjid-masjid di perkotaan.

Dia tampak ogah-ogahan memaparkan teori dan kerangka besar rencana liputannya. "Saya ingin menyaksikan dari dekat kegiatan para mahasiwa itu di sejumlah kota besar Indonesia," katanya. Dan Yogyakarta termasuk dalam daftarnya.

Di pertengahan 1984 itu kami mengunjungi sejumlah pengajian kaum muda, atau mengundang beberapa tokohnya untuk mendiskusikan "ideologi" mereka. Saya, waktu itu mengelola majalah mahasiswa Universitas Islam Indonesia Himmah sekaligus jadi penerjemah, sebisa-bisanya.

Pada hari ketiga saya merasa cukup pantas menanyakan hal-hal pribadi, terutama yang berkaitan dengan kewartawanannya.

“Izin tinggal saya tak diperpanjang,” ungkap pria berusia 39 ini.
“Mengapa tak mengajukan permohonan baru?”
“Tidak mungkin diberi. Ini pengusiran gaya Jawa.”

Awanohara lulusan Universitas Waseda yang hampir tak pernah ikut kuliah, “Karena sibuk berdemonstrasi.” Toh dia mendapat beasiswa ke Universitas Yale, Amerika Serikat. Di sana dia belajar sejarah ekonomi.

“Anda belajar sampai selesai?”

“Ya, saya lulus pada 1973. Disertasi saya tentang sejarah ekonomi Cina. Begitu lulus, saya langsung melamar ke Far Eastern, diterima, dan bekerja di sana sampai sekarang.”

“Lho, kalau Anda doktor, apalagi dari universitas sebesar itu, mengapa cuma jadi wartawan?” tanya saya, sambil membayangkan betapa hebatnya para doktor tipikal Indonesia—bicara dari satu seminar ke seminar, dari konferensi ke konferensi lainnya di dalam dan luar negeri; diburu wartawan untuk dimintai pendapatnya; dilamar jadi staf ahli di tempat-tempat bergengsi dan bayarannya mahal.

"Bung," ujarnya, "pekerjaan ini sangat berat. Kalau saya tidak bergelar Ph.D., mungkin saya tidak sanggup melakukannya."

Lama sesudah kami berpisah, ucapan Awanohara itu terus terngiang di benak saya. Tiba-tiba kewartawanan terasa amat penting lantaran syarat untuk menjalaninya setinggi itu. Padahal saya, kami, selalu merasa derajat kami di bawah para doktor, dan "hierarki alamiah" itu kami pandang wajar belaka.

Jangan-jangan Awanohara melebih-lebihkan. Tapi dia sendiri membuktikannya dengan tandas: seorang doktor ahli sejarah ekonomi lulusan Yale, yang sudah 11 tahun hilir-mudik dari satu negara ke negeri lain, termasuk untuk mewawancarai anak-anak muda "remeh" di sejumlah tempat tak penting seperti di Yogyakarta.

Diam-diam saya menghitung berapa doktor di media massa kita? Setahu saya, waktu itu tak ada seorang pun. Majalah Tempo mungkin satu-satunya yang menetapkan prasyarat berat bagi calon reporternya: sarjana dengan usia maksimal yang kian tahun kian muda dan indeks prestasi yang makin tahun makin tinggi (meski para pendiri majalah itu hampir tak ada seorang pun yang urusan sekolahnya beres). Bahkan Tempo tak memiliki doktor. Kelangkaan ini masih amat terasa bahkan sampai hari ini.

Seingat saya waktu itu Salim Said sedang mengambil program doktoral di Ohio State University. Namun setelah meraih doktor, ia malah keluar dari Tempo.

Beberapa wartawan lain yang kemudian mendapat doktor pun kemudian seolah "tak sudi" kembali, atau tetap menjadi wartawan. Lihat kasus-kasus Parakitri T. Simbolon, Emmanuel Subangun, atau Abdullah Dahana. Dalam hal ini Ninok Leksono yang bertahan di Kompas adalah pengecualian; Sindhunata, di sela kesibukannya memimpin jurnal kebudayaan Basis, masih menulis feature "remeh" tentang orang-orang kecil. Belakangan ada rekrutmen terhadap doktor misalnya Daniel Dhakidae, Moeslim Abdurrahman, dan Alexander Irwan; masing-masing buat Kompas, The Jakarta Post, dan Bisnis Indonesia. Mereka semua memimpin divisi penelitian dan pengembangan bukan jadi redaktur.

Awanohara kemudian ditugaskan ke negara lain, lalu ditarik ke kantor pusat Review di Hong Kong. Posnya di Jakarta digantikan oleh seorang wartawan berkebangsaan Malaysia. Karier Awanohara merayap naik; terakhir redaktur eksekutif, lalu keluar dari Review, dan saya tak tahu lagi ke mana dia pergi.

Bertahun-tahun kemudian, saya samar-samar mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh Awanohara. Agaknya bukan formalitas kedoktoran itu yang ingin dia tekankan, melainkan cara kerja dan metodologi jurnalistik. Saya mulai merasakan ini ketika, pada akhir 1987, diminta menemani seorang wartawan asing untuk mewawancarai Kuntowijoyo. Namanya Michael Vatikiotis, usianya 30 tahun. Dalam perjalanan di taksi gelap sewaannya, saya termangu-mangu mengetahui biografi singkatnya. Putra orientalis terkenal George Vatikiotis itu bergelar doktor ilmu politik dari Universitas Oxford, Inggris.

Waktu itu dia koresponden radio BBC. Doktor ilmu politik kok cuma jadi koresponden radio! Tapi wawancaranya dengan Kuntowijoyo bukan dalam kedudukannya di BBC, melainkan masih dalam rangka masa percobaan untuk menjadi koresponden Review. Doktor lulusan Oxford kok mau mengikuti masa percobaan di majalah mingguan! Keterkejutan itu terjawab saat menyaksikan wawancara setengah jam dan saya mulai mengerti "pesan terakhir" Awanohara.

SAYA lupa angle persis yang ditanyakan Vatikiotis kepada Kuntowijoyo seputar Islam politik itu. Perhatian saya terpusat pada metode sang wartawan. Tanpa perekam, dia memaparkan kerangka masalah, lengkap dengan kutipan teori dan pendapat sejumlah pengamat. Setelah kerangka itu dirasanya cukup jelas, dia mulai mengajukan pertanyaan, membuat narasumbernya masuk ke "kancah permainan" dengan pas. Wawancara pun mengalir lancar, cerdas dan terarah.

Sepulang dari mengantar Vatikiotis, saya, waktu itu redaktur harian Masa Kini, merenungkan "kuliah lapangan" setengah jam itu. Bagaimanakah agar wartawan kita bisa melakukan wawancara sebagus itu?

Tiga tahun kemudian kami ketemu lagi di Universitas Brawijaya, Malang, pada acara pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Vatikiotis, yang berbatik dan tampak jauh lebih percaya diri, menyebut acara itu: "Pengumuman perang umat Islam terhadap Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.” Kata-kata itu meluncur dari mulutnya di tengah suasana yang amat tegang lantaran di semua penjuru kampus Brawijaya bertebaran sejumlah panser.

Vatikiotis juga menapaki kariernya dengan mulus. Setelah digantikan Adam Schwarz, dia pindah ke Malaysia, kemudian menjadi redaktur eksekutif, dan beberapa bulan lalu menjabat pemimpin redaksi Review.

Saya merasa, wawancara yang dilakukan Vatikiotis terhadap Kuntowijoyo jauh melampaui apa yang pernah saya lakukan sebelum mewawancarai duta besar Australia Bill Morrison, enam bulan sebelumnya. Karena tak tahu harus bertanya apa, sementara topangan literatur amat sangat minim, saya akhirnya mengetuk pintu rumah Ichlasul Amal lewat pukul sembilan malam. Untunglah dosen Universitas Gadjah Mada ini mau membantu dengan ramah, sehingga ketika bertemu Morrison keesokan paginya, saya lebih siap. Mewawancarai orang sebelum menginterview narasumber memang bagus, tapi ini hanya salah satu aspek dalam kerangka metodologi seperti yang ditunjukkan Vatikiotis.

Belakangan saya makin paham. Rupanya peralatan yang dipakai wartawan seperti Awanohara dan Vatikiotis adalah yang disebut metode penelitian sosial. Di tingkat doktoral, aspek ini memang disyaratkan ketat lantaran mereka dituntut memberikan sumbangan berupa teori baru dalam disertasinya.

Saya pikir, metode penelitian sosial itu sangat penting dikuasai wartawan, tanpa harus menjadi doktor. Khazanah sosiologi dan antropologi sangat kuat, dan itu yang paling diperlukan wartawan kita, bahkan kalau mereka ingin menulis tentang perkembangan teknologi atau AIDS.

Penguasaan metode penelitian sosial akan membuat kita tak gampang ditipu baik oleh gejala maupun narasumber. Di tengah "krisis ekonomi" dewasa ini, misalnya, mengapa makin banyak mobil supermewah berkeliaran di jalan-jalan Jakarta? Penjual mobil-mobil yang menurut ukuran negara maju pun amat mewah—Ferrari, Maserati, Bentley, Rolls Royce, atau Jaguar—makin banyak setelah periode pasar gelap selama 30 tahun. Pertanda makin banyak pula konsumennya.

Sementara, industri-industri mobil yang sudah lama kurang aktif atau bahkan keluar dari Indonesia, seperti Peugeot, Renault dan Land Rover, justru makin agresif di masa krisis ini. Sejumlah mobil Korea yang lebih murah dengan rentang harga Rp 100 juta hingga Rp 200 juta sangat mencolok kehadirannya di jalan raya, melengkapi merek-merek mapan Jepang yang sekelas. Bank-bank asing pun makin giat merebut pasar bank-bank lokal yang gulung rekening. Agen-agen realestat seperti Ray White, Era, dan Century 21 berhasil memompa volume penjualan dengan tingkat yang mengherankan, dalam angka triliunan rupiah. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi di negeri yang menurut semua pengamat ekonomi menjelang bangkrut ini?

Berulang kali orang mendengar krisis hanya dialami kota-kota besar. Sementara para pedagang di w:st="on"kota kecil atau pedesaan kalem saja. Bahkan tak sedikit eksporter daerah yang kecil itu makin makmur, berkat permintaan pasar luar negeri yang meningkat. Dan tampaknya di perkotaan pun krisis itu tak sedahsyat yang digembar-gemborkan para pengamat. Lihat, apalagi di akhir pekan, kita sulit berjalan di tengah sesaknya pengunjung pusat-pusat perbelanjaan. Rentetan pameran perumahan, furnitur, elektronik, komputer, atau pendidikan diiklankan besar-besaran di koran-koran utama berdampingan dengan iklan busana impor, arloji, pasar swalayan, dan telepon seluler, yang kelewat mencolok sehingga menyita pandangan kita.

Apakah itu berarti selama ini para pengamat ekonomi dan politik berdusta dengan tujuan menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa dan membuatnya tampak kewalahan? Atau mereka memang bodoh, terlalu terpaku pada teori-teori tertentu yang mereka kunyah sejak masa kuliah (dan sekarang tentu mereka tak sempat baca buku-buku terbaru), sehingga tak mampu menjelaskan gejala ini? Mereka luput merangkum sejumlah variabel yang sejak masa sekolah dulu memang belum sempat dipelajari atau belum diteorikan?

Jika memang demikian, tidakkah ini berarti mereka justru menyalurkan ketakmengertiannya kepada publik lewat wartawan. Wartawan yang karena tak paham akhirnya menelan saja keterangan para "pakar" itu. Dan dengan naif mereka menjalankan misi suci jurnalistiknya: memenuhi hak masyarakat akan informasi. Kecelakaan makin parah kalau wartawan mengobarkan semangat aktivismenya dengan mengabaikan keharusan imparsialitas dan "meminjam mulut" pengamat. Jika harapan itu tak terpenuhi, dia masih punya senjata cadangan: "pelintir" saja ucapan narasumber atau melepaskan dari konteks pembicaraan sehingga pengertiannya menjadi amat berbeda.

Saya kenal seorang wartawan yang berkonspirasi dengan narasumbernya; atau menulis berita seolah berdasar keterangan narasumber. Setelah tulisannya selesai, sebelum terbit, dia menelepon si narasumber, melaporkan bahwa dia baru saja mengutip pendapat narasumber yang tak pernah diucapkan. Biasanya kejadian ini diselesaikan dengan sekadar saling terbahak-bahak.

Banyak contoh lain bisa disebut tentang sulitnya wartawan bekerja tanpa perangkat metode penelitian sosial yang memadai. Pendiktean oleh narasumber hanya merupakan salah satu biayanya. Ongkos lain, masih terkait dengan itu, ketakmampuan mengidentifikasi gejala yang penting sehingga luput mengungkapkan makna peristiwanya. Contoh mutakhir adalah masuknya beberapa anggota "Mafia Berkeley" dalam rapat ekonomi pimpinan Megawati Soekarnoputri, wakil presiden w:st="on"Indonesia, beberapa waktu lalu. Satu-dua koran memuat berita itu selintas saja, tak ubahnya memberitakan peristiwa kecil padahal itu gejala luar biasa yang mungkin bisa mengungkapkan hal-hal besar.

Setelah begitu lama "menghilang," mendadak Widjojo Nitisastro dan Emil Salim dilibatkan dalam rapat tingkat tertinggi ekonomi, di tengah "ketegangan" hubungan Indonesia dan International Monetary Fund. Mereka arsitek ekonomi Orde Baru yang dianggap berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di Indonesia, setidaknya selama 25 tahun, terlepas dari stabilitas politik yang menjadi prasyaratnya; atau debat mengenai siapa yang paling diuntungkan oleh membesarnya kue ekonomi itu.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah keterlibatan keduanya atas tekanan International Monetary Fund? Atau, Megawati sendiri dan para penasihat terdekatnya memang membutuhkan keahlian mereka; dan para pejabat resmi ekonomi dirasa tak kooperatif atau tak sanggup secara teknis untuk berunding secara wajar, menurut kaidah-kaidah umum perundingan internasional? Apakah keterlibatan Widjojo Nitisastro dan Emil Salim seizin atau setidaknya sepengetahuan Presiden? Jika ya, mengapa keterlibatan mereka tampak tak disukai oleh menteri koordinasi perekonomian Rizal Ramli, yang diketahui sebagai "letnan" Presiden Wahid dan terkesan dijauhi oleh wakil presiden? Jika tidak, mungkinkah itu berarti keretakan hubungan Wahid dan Megawati makin mendalam dan meluas?

Begitulah, tanpa perangkat metodologi penelitian sosial yang memadai, wartawan berpeluang untuk tersesat dalam berkesimpulan. Mereka tak terlatih membaca hal yang lebih dekat dengan kenyataan. Mereka mungkin hanya melihat garis besar gejala-gejala tertentu yang tampak "logis" untuk menuju ke peristiwa tertentu padahal masalah sosial, seperti dimafhumi, sering tak sesederhana seperti hubungan mendung dan hujan. Bahkan, untuk kasus-kasus yang kausalitasnya segamblang "ada mendung tentu sebentar lagi turun hujan" pun kita perlu cermat melacak nuansa-nuansanya lantaran perbedaan faktor-faktor tertentu dari kasus serupa di tempat lain, bisa sangat berbeda.

Wartawan tentu diharapkan tak meniru para birokrat, yang kelewat gampang melompat ke kesimpulan tertentu berdasarkan gerak nalar yang sederhana.

Lihat Kompas Minggu 17 Juni 2001; feature Elok Dyah Messwati tentang pertunjukan grup-grup musik anak muda bersama penontonnya.

Penggambarannya bagus dan cukup komplet, mencakup latar belakang grup mereka, lengkap dengan angka penjualan album-albumnya. Setelah melukiskan pelbagai w:st="on"gaya mereka, dia sampai pada kesimpulan yang mencengangkan: "Santai, penuh canda, malas mikir yang ruwet-ruwet, itulah gambaran sebagian besar anak muda kita. Bebas lepas, ceria, dan seolah tak terbeban adalah ciri kebanyakan anak muda kita."

Pertanyaannya: bagaimana mungkin kesimpulan tentang kondisi umum anak-anak muda w:st="on"Indonesia ditarik berdasarkan momen pertunjukan musik rock semacam itu? Tidak mungkinkah para penonton itu, yang diidentifikasi sekadar sebagai "anak muda," justru sedang melepaskan kepenatan mereka sehabis bekerja atau belajar? Bagaimana pula dengan berpuluh juta anak muda lain, terutama di pedesaan atau kota-kota kecil, yang tentunya termasuk, kalau bukan lebih representatif sebagai contoh golongan yang dirujuk oleh penulis feature tadi? Kondisi umum anak muda w:st="on"Indonesia boleh jadi meleset jauh dari idealnya. Tapi menyimpulkan situasi mereka dari momen pertunjukan musik rock di suatu pagi di sebuah sudut metropolitan w:st="on"Jakarta sungguh merupakan kesembronoan yang sulit ditoleransi oleh aturan dasar berpikir.

KEKURANGAN perangkat metodologi penelitian sosial juga membuat wartawan hanya sanggup melontarkan "celetukan" kepada narasumber, yang hanya akan mencuatkan serpihan-serpihan kecil dari peristiwa sebenarnya. Akhirnya yang tersaji sekadar penggalan informasi, bukan keutuhan "pengetahuan."

Secara umum, informasi tentu bukan sia-sia; tapi dia dapat juga malah makin membingungkan pembaca. Metode "nyeletuk" itu bukan hanya terjadi pada wartawan yang mencegat narasumber di depan lift atau di dekat pintu mobilnya, atau bahkan pada konferensi pers tapi juga pada sesi wawancara khusus yang cukup leluasa, misalnya seperti yang setiap hari kita saksikan di televisi.

Ini pula yang bisa menjelaskan mengapa makin marak saja apa yang saya sebut "jurnalisme lisan" atau "jurnalisme oral." w:st="on"Ada yang menyebutnya "jurnalisme statemen." Barangkali pula budaya lisan kita pada hakikatnya belum banyak beranjak dan sekadar memindahkannya ke bentuk tulis? Kemungkinan ini patut dipertimbangkan, mengingat media audio dan audio-visual kita dalam beberapa tahun terakhir sungguh royal mengobral talk show alias acara bincang-bincang.

Opini, pendapat orang, tampak makin dianggap penting ketimbang peristiwanya sendiri. Ashadi Siregar pernah mengistilahkannya pengutamaan realitas psikologis atas realitas sosiologis. Kalau ada peresmian jembatan, kata Ashadi, maka yang dikutip wartawan adalah pidato pejabat yang meresmikannya, bukan apa dan bagaimana jembatan yang diresmikannya itu. Realitas psikologis sang pejabat dirasa lebih penting ketimbang realitas sosiologis jembatan itu.

Memang, pikiran manusia bisa kita pandang sebagai "peristiwa yang belum aktual," sehingga "berita pikiran" pun punya nilai sendiri. Apalagi kalau penyimpan peristiwa itu orang yang otoritatif di bidangnya, misalnya pejabat yang berwenang atau pakar. Tapi jurnalis pemula pun tahu bahwa dalam "hierarki" nilai berita, "berita pikiran" itu menempati urutan terbawah.

Keterangan atau pengungkapan "realitas psikologis" mereka, perlu dicek dan dikonfrontasikan dengan fakta dan data di lapangan yang dicari sendiri oleh wartawan. Ini bukan sekadar memenuhi "rukun" cover both sides, melainkan untuk mendapatkan gambaran yang sedekat-dekatnya dengan realitas sosiologis.

Khusus mewawancarai pejabat, keharusan ini lebih ditekankan lagi, mengingat keniscayaan mereka mengidap kepentingan tertentu. Kalau seorang pejabat pertanian berkata dengan keyakinan maksimum bahwa panen tahun ini lancar dan jauh lebih besar dibanding tahun lalu, dan para petani menampakkan kegembiraan, tentu perlu diperiksa seberapa meleset pernyataan itu dari kenyataan. Boleh jadi, panen tahun ini memang besar, tapi tak mungkin diklaim "jauh lebih besar dari tahun lalu." Dan siapa tahu pak tani tak terlalu gembira lantaran peningkatan panen sebenarnya sama sekali tak meningkatkan kesejahteraan mereka, mengingat barang-barang sudah lebih dulu naik—melengkapi timpangnya trade-off selama ini yang menekan mereka, karena harga gabah dikendalikan pemerintah, sementara harga kebutuhan mereka sehari-hari mengikuti hukum pasar.

Jurnalisme lisan itu memang paling gampang digarap. Bentuk nyatanya berupa wawancara verbatim, versi yang lebih "canggih" berupa parafrase oleh wartawan, kadang berupa gabungan pendapat beberapa orang yang diturunkan menjadi satu judul tulisan (biasanya dengan nada seakan itu merupakan realitas sosiologis). Contoh pertama tentu saja yang sukses digencarkan tabloid Detik, dibredel pada 1994, meski sudah tentu bentuk ini sudah dikenal dan diterapkan jauh sebelum Detik lahir.

Waktu itu, hampir seluruh 32 halaman Detik bertaburan wawancara verbatim. Iklim politik yang opresif rupanya membuat khalayak suka w:st="on"gaya Detik yang "mengumbar" narasumbernya berbicara apa adanya dengan sesedikit mungkin intervensi oleh penyuntingan redaktur. Sejumlah media lain rupanya kemudian "mewajibkan" memperbanyak wawancara verbatim dalam halaman-halaman media mereka—tampak kurang menyadari biaya pendangkalan yang harus mereka bayar; dan disambut gembira oleh reporter atau redaktur sebagai penyelamat dari tekanan keras tenggat yang menghimpit mereka. Selain berisiko pendangkalan dan penyesatan pembaca dari realitas, wawancara verbatim menimbulkan kemungkinan menjadi alat empuk bagi narasumber, lantaran dia tahu ucapannya akan dimuat seakurat mungkin.

Bentuk kedua, yang lebih canggih, tampaknya dipopulerkan, kalaupun bukan dipelopori, oleh Kompas—dan masih digemari dan "diandalkan"nya sampai sekarang. Sajiannya tiap hari kita baca: setelah memaparkan statemen dalam teras berita, pada paragraf kedua atau ketiga kita disuguhi: "Demikian benang merah yang dapat ditarik dari wawancara Kompas secara terpisah dengan Freddy Fulan, Badu Oentoro, dan Delik Adwan .…"

"Jurnalisme benang merah" ala Kompas itu diekori sejumlah media daerah, selain oleh sesama "koran nasional," dan tak jarang memunculkan hal yang menggelikan. Saya dulu sering membaca "benang merah" itu di koran Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.

"Protap"nya serupa: teras berita berisi rumusan redaktur, yang merupakan kesimpulan dari "gabungan" pendapat sejumlah orang; tubuh berita memuat paparan pendapat masing-masing narasumber. Lalu terjadilah mukjizat: rincian pendapat mereka justru berlawanan dengan kesimpulan tadi. Mungkin metode penyimpulan yang digunakan adalah temuan mutakhir sang redaktur, yaitu: kesimpulan sah dinyatakan berdasarkan "gabungan pendapat" meski hanya bertolak dari pendapat salah seorang saja dari tiga atau empat narasumber.

Menarik "benang merah" memang tak terlalu gampang, tapi harus dilakukan karena "keren." Bukankah koran sehebat Kompas pun tiap hari menariknya? Adalah perkara lain kalau yang kemudian muncul bukan "benang merah," melainkan "benang kusut."

LEPAS dari kelangkaan metodologi penelitian sosial, dan demi keadilan terhadap rekan-rekan kita, wartawan-wartawan asing seperti Awanohara dan Vatikiotis itu ditopang oleh biaya operasi yang amat besar menurut ukuran rata-rata pers w:st="on"Indonesia. Lihat, Awanohara-san bisa leluasa mengunjungi sejumlah w:st="on"kota dengan menginap di hotel berbintang, "hanya" untuk menulis satu artikel, maksimum tiga halaman, kadang bahkan hanya satu halaman majalah.

Saya selalu penasaran pada aspek ini, dan mulai mengusut seorang sahabat wartawan freelance Amerika Serikat, Margot Cohen. Dia ditugaskan menulis masalah pendidikan di w:st="on"Indonesia oleh sebuah mingguan besar. Dia merasa betul-betul tak mengerti masalah lantas mewawancarai sampai 35 orang, hanya untuk latar belakang. Ketika menulis tentang sebuah partai Islam, dia berulang kali mengontak saya, kadang dari luar w:st="on"Jakarta, sekali lagi hanya untuk mengetahui latar belakang atau istilah-istilah tertentu. Tentu dia juga bertanya pada banyak orang demi membangun kerangka topik supaya bisa mengajukan pertanyaan yang tepat.

Misalnya, suatu malam, dia bertanya, apakah takbir itu? Apa pula Ka'bah? Mengapa peristiwa Presiden Soeharto bertakbir pada malam Idul Fitri di lapangan Monumen Nasional dianggap sangat penting? Dari Yogyakarta Cohen menelepon, mengungkapkan keheranannya mengapa banyak orang yang ditemuinya di w:st="on"sana begitu sering menyebut amar ma'ruf nahi munkar. Apa artinya? Dan benarkah "pencipta"-nya Amien Rais, mengingat para narasumbernya menyebut istilah itu berkaitan dengan dia?

Tulisan-tulisan Cohen tentang w:st="on"Indonesia, harus diakui, lebih akurat dan bertanggung jawab ketimbang kebanyakan rekan asingnya, baik yang menulis di majalah yang sama maupun media lain. Kritik atas kekurangan-kekurangannya yang saya anggap mencolok, sering ditanggapinya dengan baik, meski adakalanya dia pertahankan dengan gigih. Kadang dia mengungkapkan kejengkelannya bahwa aspek tertentu dipenggal oleh redakturnya yang sok tahu di kantor pusat. Tak jarang dia harus bolak-balik tujuh-delapan kali memfaks artikelnya, guna merundingkan versi final yang memuaskan kedua belah pihak, koresponden dan redaktur.

Hasil akhirnya tak selalu memuaskan sang penulis meski telah melewati pertengkaran yang kadang sampai membuatnya menangis. Padahal dialah yang harus menanggung malu, atau dikeluhkan oleh narasumbernya, atau dicari-cari jenderal galak seperti pernah dialaminya, yang bisa ketemu dia tiap hari. Jelas ini berbeda dengan yang dialami redakturnya nun jauh di luar negeri w:st="on"sana.

Berapa rata-rata biaya peliputan ke berbagai daerah yang dia habiskan yang kadang memakan waktu satu bulan? Jika usulan pribadi, dia harus mengajukan proposal berikut anggarannya secara terinci, termasuk biaya telepon. Tugas tak akan dijalankan sebelum tawar-menawar tuntas, termasuk menyangkut rincian angle dan narasumber. Jika penugasan dari redaktur, dia hanya perlu mengajukan biaya. Mekanisme ini tetap berlaku setelah dia direkrut menjadi koresponden tetap majalah itu. Dan Cohen tampaknya memegang etika: saat dia masih freelance pun dia tidak pernah memanfaatkan datanya yang "tak terpakai" untuk menulis kolom di w:st="on"Asian Wall Street Journal atau International Herald Tribune. w:st="on"Ada porsi masing-masing. Begitu pula ketika dia ditugaskan oleh The New York Times untuk menulis feature restoran di w:st="on"Indonesia.

Berapa pula honornya sebagai penulis? Cohen menjawabnya dengan hati-hati, dan jumlahnya waktu itu kira-kira enam kali honor penulis w:st="on"Indonesia. Dengan nilai tukar yang membengkak sekarang ini jelas honornya tak terkejar oleh penulis w:st="on"Indonesia.

Mendengar penuturan Cohen, hati saya ciut membayangkan betapa sulitnya "kemewahan" yang dinikmatinya ditiru oleh wartawan w:st="on"Indonesia, bahkan yang dari media kaya sekalipun. Kemewahan Cohen agaknya hanya bisa dinikmati oleh wartawan media yang bersirkulasi internasional, dengan tarif iklan selangit. Dan tampaknya, koresponden media kita di luar negeri pun lebih memilih menulis laporannya dengan mengutip media lokal, termasuk radio dan televisi. Yang penting: citra sebagai media yang punya wartawan yang melaporkan dari negara tempat kejadian terpenuhi.

Kemewahan serupa saya herankan pula pada Margaret Scott, yang berbasis di w:st="on"New York dan menulis untuk The New York Review of Books. Tabloid dua-mingguan itu bertiras sekitar 125 ribu eksemplar. Seperti namanya, bagian terbesar isinya berupa resensi buku. Sesekali diselingi feature panjang, seperti yang pernah ditulis oleh V.S. Naipaul tentang Islam di Indonesia (sebagai bagian dari risetnya tentang Islam Asia Tenggara) pada awal 1980-an. Shapiro mengisi selingan semacam itu dan beberapa kali ke Indonesia. Saya tidak berani bertanya tentang biaya dan honorarium. Saya tak mau dia akan menduga saya cuma nyinyir, bukan untuk keperluan profesional.

Tapi tampak jelas bahwa dia dibekali kartu kredit atau traveller check yang cukup untuk tinggal satu bulan di Indonesia dan berkeliling ke sejumlah w:st="on"kota, termasuk Aceh dan Papua. Semuanya hanya untuk menghasilkan 5-6 halaman The New York Review of Books. Duh, boro-boro menugasi wartawan ke luar negeri, pikir saya, wong satu-dua media perbukuan yang pernah terbit di sini saja mati muda semua.

Bagaimana tabloid buku w:st="on"New York itu, yang hanya mendapat iklan buku, iklan baris, dan iklan jodoh, bisa membiayai korespondennya untuk peliputan semewah itu. Padahal harga eceran w:st="on"New York Review cuma US$4. Mudah-mudahan pada kunjungan Scott berikutnya saya punya cukup keberanian untuk melakukan wawancara khusus.

Saya gampang mengerti kalau kemewahan serupa dinikmati oleh kolumnis sebesar Thomas Friedman, yang menurut seorang yang mengenalkannya kepada saya, "Boleh menentukan sendiri mau ke mana dia pergi meliput." Friedman sendiri, pemenang dua kali Pulitzer, tak sungkan mengungkapkan keistimewaan yang dia nikmati sebagai kolumnis masalah internasional, seperti diungkapnya dalam buku terbarunya, The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization (Farrar, Strauss, & Giroux, 2000). Seusai meliput pengembalian Hong Kong dari Inggris pada Cina, 1997, misalnya, dia enak saja mampir beberapa hari ke w:st="on"Jakarta, tanpa rencana matang. Keisengan semacam itu bisa dibiayai oleh seorang kolumnis yang bekerja tetap di The New York Times, yang opininya disimak para pemimpin dunia, dan kolom-kolomnya dijual secara sindikasi pula oleh induk semangnya.

PENGUASAAN metodologi penelitian sosial akan membuat mutu kerja wartawan sebanding dengan ilmuwan. Ejekan lama, yang menyebut kerendahan mutu sebuah karya akademis sebagai "karya jurnalistik," sudah lama tak bisa dipertahankan. Wartawan dan ilmuwan itu persis sama: keduanya harus meneliti (ke perpustakaan maupun lapangan), membaca gejala dengan tajam, mengaitkannya dengan peristiwa-peristiwa serupa di masa lain dan tempat lain, menjelaskannya kepada publik, dan seterusnya. Perbedaannya wartawan tak punya keleluasaan tempat dan waktu. Wartawan, karena desakan tenggat, hanya bisa menyajikan penggalan temuan-temuannya secara mencicil di media tempatnya bekerja. Kecuali, jika dia cukup lama bertugas di satu bidang dan kelak mampu menghasilkan buku di bidang itu; misalnya seperti dilakukan oleh David Jenkins, Michael Vatikiotis, Adam Schwarz, atau John Horgan, wartawan Science yang menulis buku The End of Science.

Dalam beberapa belas tahun terakhir, tampak bahwa buku-buku karya para wartawan pun (mohon maaf kalau saya hanya melihat fenomena di Barat), memiliki ciri-ciri serupa dengan karya akademis, lengkap dengan pertanggungjawaban metodologisnya. Lihat umpamanya buku-buku Thomas Friedman (misalnya From Beirut to Jerusalem), Sterling Seagrave (antara lain Lords of The Rim dan The Soong Dynasty), Malcolm Gladwell dari The New Yorker (The Tipping Point), dan tentu saja harus disebut Daniel Goleman dari The New York Times, yang memaksa perhatian dunia pada Emotional Intelligence berkat buku larisnya yang berjudul sama. Sebaliknya, The Clash of Civilizations Samuel Huntington, misalnya, tak sedikit yang memaki. Seorang kenalan saya, dari Cornell dan Wisconsin, melontarkan makian yang mengejutkan terhadap buku itu, dengan menyebut w:st="on"Huntington, profesor yang bereputasi tinggi itu, "sudah tua dan pikun."

Di sisi lain, bukankah karya "akademis" para ilmuwan pun, misalnya seperti ditunjukkan secara meyakinkan oleh beberapa Indonesianis, tak sedikit memuat cacat-cacat atau kedangkalan yang menggelikan?

Tapi, bagaimana pun, saya tak ingin kelak di suatu masa, ada wartawan yang mengejek karya jurnalistik rekannya dengan tekanan pada kualitas, bukan pada kerumitan cara penyajiannya yang sudah sering kita dengar. Ejeknya, "Huh, seperti karya akademis saja!"

Sementara itu kita menyaksikan makin banyak saja ilmuwan sosial kita yang mendapat anugrah profesor justru berkat kerajinan menulis artikel dan kolom-kolom pendek di suratkabar, selain mungkin, dari karya-karya yang sedikit lebih serius. Kita tidak pernah mendengar mereka menghasilkan karya akademis di bidang masing-masing yang cukup kuat yang dimuat di jurnal ilmiah di dalam negeri, apalagi di luar negeri. Mungkin mereka sudah menghasilkan sejumlah buku, tapi bukan buku teks atau hasil penelitian yang meyakinkan, melainkan non-book, yakni kumpulan tulisan yang pernah dimuat di media w:st="on"massa.

Sebaiknya kedua kubu saling belajar agar produktif: wartawan perlu terus berupaya semendalam akademisi, ilmuwan berusaha menulis seencer dan sekomunikatif mungkin layaknya jurnalis, sehingga karya-karya mereka tidak elitis, hanya bisa dinikmati kalangan terbatas sesama ilmuwan. Lagi-lagi, di Barat kecenderungan ini tampak menguat. Bandingkan dengan impian C.P. Snow setengah abad silam, yang mendambakan munculnya "budaya ketiga," yaitu dunia ilmu dan sastra yang tak lagi saling menjauhi; kalangan sastrawan hendaknya menimba ilham dari dunia ilmu, lalu menyajikannya dengan bagus kepada publik, agar publik mampu mengikuti perkembangan ilmu yang tak mudah dicerna itu. Semacam "budaya ketiga" itu sudah muncul dalam beberapa belas tahun terakhir. Tapi bukan seperti yang diimpikan Snow, melainkan para ilmuwan sendiri yang sanggup menyajikan secara komunikatif temuan-temuan ilmiah mereka. Lihatlah misalnya buku-buku biolog ternama Stephen Jay Gould yang selalu best-seller; atau pakar zoologi Jarred Diamond; para fisikawan paling terkemuka dewasa ini seperti Roger Penrose dan Paul Davies; juga Fritjof Capra dan Gary Zukav; biolog Stanislav Grof; bahkan karya Stephen Hawking, A Brief History of Time, kini sudah dicetak 30 juta eksemplar dalam puluhan bahasa; fisikawan Carl Sagan termasuk penulis paling populer di dunia, dan program televisi yang dibuatnya mengenai fenomena ruang angkasa, ditonton oleh puluhan juta orang dan termasuk program terlaris sepanjang masa; sementara film Contact yang dibuat berdasar novelnya yang berjudul sama, masuk box office.

Di kalangan ilmuwan sosial, jumlah pakar yang mampu mempopulerkan karya-karya mereka jauh lebih banyak lagi. Orang-orang seperti Robert Coles (guru besar psikolog anak Harvard), selain menulis 40-an buku nonfiksi, juga mengarang beberapa cerita anak-anak; Alan Dershowitz (pengacara dan profesor hukum Harvard) juga menulis beberapa novel hukum, selain banyak buku nonfiksi; sejarawan Amerika Alexander Schlesinger Jr., selain pernah meraih hadiah Pulitzer, karya otobiografinya yang terbit beberapa bulan lalu dianggap tonggak untuk abad ke-20. Masih banyak nama lain. Sejauh ini tak ada yang secara terbuka memvonis bahwa mutu kesarjanaan mereka merosot, hanya gara-gara mereka menulis karya secara populer.

Para akademisi bisa menulis buku dan kolom dengan renyah dan imajinatif, tanpa kehilangan bobot akademisnya, sementara wartawan makin sering diundang sebagai pembicara di seminar-seminar akademis di kampus. Semuanya untuk mengabarkan kepada dunia, apa yang sesungguhnya terjadi di dalamnya.*

Hamid Basyaib
6 Agustus 2001

http://www.pantau.or.id/detailartikel.php?id=46

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.