SMS Amrozy

Gambar oleh OpenClipart-Vectors dari Pixabay

Begitukah cara kita mengatasi hal-hal yang menyakitkan...?

PERUSAHAAN-perusahaan jasa wisata makin kesulitan untuk menjual klise “bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan murah senyum”. Dunia mustahil percaya, melihat banyaknya darah yang melumuri seantero negeri. Dan kalau takdir memang menitahkan penghapusan citra ini, kedutaan dan konsulat kita bisa menjual “mutiara terpendam”: bangsa Indonesia adalah bangsa humoris -- meski masih perlu diuji adakah wisatawan asing yang terpikat oleh ciri ini, mengingat sudah cukup banyak kompetitor di sektor ini.

Si Abang adalah pengacara Abubakar Ba’asyir, yang juga disebut oleh tersangka Amrozi, sehingga pengaitan keduanya dalam nama bank Belanda itu memang punya “alasan yuridis” yang kuat. Cerdik.

Tak lama setelah saya menghayati pesan kreatif itu, masuk sms lain: “Amrozi sudah mengaku sebagai pelaku peledakan bom Bali. Karena itu ia menyatakan minta maaf, dan mengganti namanya menjadi Amzory”. Amzory? Yes, “I’m sorry”. Seperti Anda, saya takjub pada ketekunan sang pembuat sms dalam mengotak-atik nama itu. Kok ya sempat-sempatnya....

Lalu sebuah gunung di Jawa Barat meledak. Segera sebuah sms memberitakan: “Amrozi juga diduga sebagai pelaku peledakan Gunung Papandayan”. Seorang teman lain bahkan lebih sewenang-wenang: “Amrozi turut bertanggung jawab atas ledakan penduduk”. Mengikuti irama kengawuran ini, pada pekan kedua puasa itu saya sigap menjawab: “Amrozi juga bertanggung jawab atas ledakan pemudik. Diduga, ia akan mulai menjalankan aksinya dua minggu lagi”. Arus besar pemudik tentu terjadi, tapi semoga teman tadi tak termakan oleh fitnah saya.

Begitukah cara kita mengatasi hal-hal yang menyakitkan, ironis, menjengkelkan atau menakutkan? Mungkin. Adapun ihwal yang menjengkelkan di bidang politik, sudah lama menjadi menu harian para humoris, misalnya ditampilkan dalam bentuk karikatur di suratkabar. Dan para humoris makin kreatif di negara-negara otoriter. Di masa Uni Soviet, pembaca Indonesia juga disuguhi terjemahan Mati Ketawa Cara Rusia (1986), kumpulan sindiran yang sangat tajam sekaligus amat kocak tentang politik Soviet.

Kaum satiris Beijing pernah mengumumkan kepada dunia bahwa di Cina semua harga naik, kecuali Deng. Tubuh Deng Xiaoping yang sangat berkuasa itu memang tak pernah naik dari 155 cm. Konon majalah humor paling mashur terbit di Bulgaria. Mesir yang penguasanya otoriter juga kaya dengan humor politik. Masyarakatnya pun sangat gemar berguyon, termasuk dengan mengutip bahan dari khazanah agama dan kitab suci, yang potensial menuai panen somasi dari Majelis Mukhabarat Iman dan Front Pelaksana Indoktrinasi. Di negeri-negeri Timur Tengah yang tradisi tulisnya tak sekuat Mesir, humor-humor politik hanya beredar secara lisan, tapi tak kalah tajam dan cerdasnya -– sebagaimana di Orde Baru Indonesia.

Para ahli (jangan tanya ahli mana) menyebut bahwa kemampuan berhumor, khususnya yang bernada mengejek-diri, adalah salah satu ciri kedewasaan. Para pakar, yang keahliannya amat diragukan, menyebutnya “suatu kemampuan yang mengagumkan untuk mentransendensikan hal-hal yang menyakitkan atau menjengkelkan menjadi situasi yang menyenangkan”. Tapi dalam kasus “sms Amrozi”, terasa bahwa niat para penyebarnya bukan sekadar bertransendensi, tapi juga ingin meledek polisi atau mengungkapkan ketakpercayaan mereka pada “skenario” polisi dalam mengungkap bom Bali.

Harap maklum, syak terhadap polisi ini adalah sisa-sisa dari praktek lazim pengambinghitaman oleh penguasa di era Orde Baru dalam menangani kasus-kasus serupa. Atau pembidikan hanya terhadap para pelaku teri sambil melindungi para kakap. Daftarnya memang cukup panjang. Ada kasus Sengkon-Karta, ada Pak De dalam kasus Dice, ada Iwik dalam kasus Udin, Marsinah, penculikan mahasiwa menjelang Reformasi. Orang-orang daerah lain pasti menyimpan daftar panjang pula untuk daerah masing-masing.

Dan rupanya keraguan ini merata secara lintas-profesi, lintas-budaya, dan lintas-agama. Kepala Kepolisian RI Jenderal Da’i Bachtiar sampai kehabisan akal menyusun argumen duniawi untuk menangkis kecurigaan ini. Dalam keputus-asaannya, di depan ulama Jawa Barat ia sampai berkata seandainya dalam penanganan kasus-kasus yang terkait dengan kalangan tertentu Islam itu polisi melakukan rekayasa, dirinya “bersedia menerima azab di dunia dan akhirat”. “Kalau urusan azab dan akhirat mah itu urusannya Pak Jenderal dengan Gusti Pangeran atuh....” -– mestinya ada ajengan yang nyeletuk begini.

Jangan tanya siapa pencipta sms kreatif semacam itu, yang hampir tiap hari kita terima -– termasuk dirty jokes berbahasa Inggris (misalnya tentang drakula yang ingin tampil keren seperti malaikat bersayap putih seraya tetap bisa mengisap darah, lalu Tuhan mengubahnya menjadi tampon). Ia seperti wabah yang menyebar begitu cepat tanpa diketahui muasalnya. Mungkin ada seorang “aktor intelektual” (maksud Bung Daktur: auctor intellectualis) yang terjebak macet dan mendapat ilham dadakan setelah mendengar berita di radio mobilnya, lalu menularinya kepada lima kawannya. Masing-masing mereka kemudian menyebarkannya ke lima teman –- perusahaan jasa telepon seluler tak sengaja (?) memasarkan produk mereka dengan sistem multi level marketing yang wabahnya pun hanya kalah sedikit dibanding wabah korupsi.

Tapi tak perlulah menghitung nilai bisnis dalam kegiatan yang oleh Fernand Braudel tentu digolongkan ke dalam “sejarah mental” ini. Tak perlu pula menebak-nebak konspirasi ekonomi di balik penyebarluasan sms yang luar biasa itu, meski biaya pengirimannya lebih murah dibanding panggilan suara.

Cukuplah dosis konspirasi hari ini. Jika berlebih ia hanya akan membikin kekocakan jadi kejengkelan. Dan kebebalan.*

Hamid Basyaib
6 Januari 2003

http://www.pantau.or.id

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.