Soedradjad, Bravo

Photo by Arga Aditya on Unsplash

PROFESOR ROSS H. MCLEOD baru-baru ini melancarkan kritik tajam dan mendasar terhadap Bank Indonesia (BI), sebagai pengelola tertinggi sistem moneter kita. Seperti yang dapat kita baca secara luas di berbagai media massa, ekonom Australia yang mengaku pengikut Milton Friedman ini berpendapat bahwa tindakan BI selama beberapa tahun ini, dalam mencegah tingginya tingkat inflasi, tak relevan dan salah arah.

McLeod, antara lain, menganggap bahwa Bl tak perlu terlalu pusing memikirkan dan membatasi ekspansi jenis uang (M1 dan M2) yang tak langsung memengaruhi inflasi, misalnya ekspansi kredit perbankan, seperti yang selama ini BI lakukan. Faktor yang berdampak kuat terhadap inflasi, menurutnya, adalah peredaran uang primer (M0, yaitu lembaran bergambar Pak Harto yang ada di dompet Anda). Faktor iniah yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh BI.

Selain itu, berbeda dengan pandangan umum yang dianut ma­syarakat selama ini, termasuk oleh para perumus di BI, McLeod berpendapat bahwa dunia perbankan kita (seluruh bank minus BI) tak bertanggungjawab terhadap tingkat inflasi. Alasannya sederhana: pencetak uang primer bukan mereka, melainkan BI. Dunia perbankan kita, dengan kata lain, tak berpengaruh apapun terhadap jumlah uang beredar. Bank hanya menjalankan fungsi intermediasi dan relokasi uang, dari satu pihak ke pihak lain, dari penabung ke peminjam. Implikasi semua ini: biarkan dunia perbankan bertindak sendiri dan lanjutkan liberalisasi perbankan yang selama ini terseok-seok.

Terhadap kritik tajam dan terbuka semacam ini, apa yang BI lakukan? Apakah Prof. Soedradjad Djiwandono, Gubernur BI yang juga ekonom, kemudian tersinggung dan merasa diper­malukan? Apakah McLeod lalu dianggap orang asing yang hanya ingin menyebarkan paham liberalisme gontok-gontokan di negeri kita? Apakah McLeod dituding tak mengerti SMP (Sis­tem Moneter Pancasila)?

Ternyata, seperti yang diuraikan secara rinci di Kompas, 22 Januari lalu, Soedradjad meninjau kritik dan argumen McLeod dengan dingin, sistematis, penuh percaya diri. Dalam satu hal, dia berkata bahwa sebenarnya pendapat McLeod agar BI memperhatikan perkembangan uang primer “memang ber­alasan”. Dia dan McLeod, dalam soal ini, tak banyak berbeda.

Dalam hal lain, menurutnya, McLeod terlalu sederhana dalam melihat hubungan uang primer dan jenis uang lainnya. Karena deregulasi dan globalisasi di sektor keuangan, maka hubungan ini sudah menjadi lebih rumit. Kini telah terjadi de-coupling antara M2, M1, dan MO. Karena itu, pengendalian inflasi tak dapat dilakukan dengan mengatur uang primer saja. Faktor lain, seperti pinjaman bank, juga harus diperhatikan. Artinya, apa yang BI lakukan selama ini sebenarnya tak terlalu keliru.

Soedradjad tentu tak membahas sesingkat dan sesederhana sebagaimana yang dapat saya sampaikan di sini. Tapi yang penting bagi saya, terlepas dari benar-salahnya atau kuat-lemahnya argumen yang disampaikan, Gubernur BI ini telah memberi contoh langsung tentang praktik pemerintahan by persuasion yang terbuka, besar hati, dan berlandaskan argumen yang masuk akal. Buat dunia pemerintahan sekarang, contoh lang­sung seperti yang diberikan Soedradjad agaknya sudah ma­kin langka, dan karena itu makin “mahal”.

Kelangkaan demikian, misalnya, dapat dilihat dalam kontroversi pengelolaan sumber alam kita akhir-akhir ini. Seperti yang kita tahu, tokoh seperti Kwik Kian Gie dan Amien Rais saat ini sibuk mempertanyakan kecilnya keuntungan (10%-20%) yang kita peroleh dari hasil penambangan sumber alam ki­ta, baik di Irian maupun di Kalimantan. Sebaliknya, pihak asing yang mengelola sumber tersebut, seperti perusahaan Freeport, mengeruk untung luarbiasa (sekitar 80%). Antara lain karena hal inilah maka Amien Rais berkata bahwa kini ter­jadi “kezaliman ekonomi” di negeri kita.

Bagi pejabat-pejabat tertinggi yang terkait dengan urusan pertambangan, seperti Menteri Pertambangan dan Energi (Pak Sudjana sekarang, dan Pak Ginandjar sebelumnya), persoalannya tentu tak sesederhana tudingan Kwik-Amien. Mereka pasti mengerti persoalan sebenarnya. Tapi di manakah suara mereka sekarang? Di manakah penjelasan mereka tentang soal yang me­libatkan duit triliunan rupiah ini? Kenapa mereka diam? Kalau tudingan Kwik-Amien keliru, di mana letak kekeliruannya? Kenapa “cuma” Fachry Ali, Bondan Winarno, dan Dr Sjahrir, yang notabene tak memiliki kaitan tanggungjawab apapun terhadap kebijakan dunia pertambangan kita, yang bicara menanggapi tudingan tadi?

Kita masih bisa menambah lebih banyak lagi contoh semacam ini. Misalnya, dalam konteks yang agak berbeda, kita bisa melihat diamnya pimpinan Golkar terhadap kritik bahwa pemilihan calon legislatif (caleg) mereka sangat berbau nepotisme. Yang jelas, saat ini sudah sangat jarang kita saksikan para pemimpin dari kalangan pemerintahan yang menyambut kritikan dan kontroversi secara head on, seperti yang dilakukan Soedradjad.

Entah kenapa, banyak pimpinan pemerintah rupanya berpikir bahwa “diam” adalah manifestasi kebijakan terbaik. A silent government is the best government. Malah anehnya, kalau toh mereka bicara, yang biasanya mereka sampaikan justru hal-hal trivial yang paling tak ingin kita dengar.

Dan karena itu pula, terhadap tokoh seperti Soedradjad kita harus katakan: “Jalan terus, Bung! Penuhilah dahaga masyarakat akan pemimpin yang terbuka, bersedia beradu ar­gumen, dan penuh percaya diri...”

15 Februari 1997

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.