PRESIDEN SOEHARTO TELAH BERKUASA SELAMA LEBIH DARI 28 TAHUN. Rezim Orde Baru (Orba) yang ia pimpin tidak mengalami perubahan apapun yang signifikan sejak konsolidasi awalnya pada akhir 1960-an.i Stabilitas politik ini sangat mengejutkan karena, di wilayah sosial dan ekonomi, Indonesia mengalami suatu perubahan yang sangat besar sebagai dampak pertumbuhan ekonomi dan reformasi sosial yang cepat.ii Tidak seperti Thailand dan Korea Selatan, dan sampai tingkat tertentu Taiwan, yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan demokratisasi politik yang berhasil, Orba Soeharto tampak sangat kuat dalam menahan tekanan apapun ke arah perubahan politik.
Memang, sebagian pihak akan menyatakan bahwa, bersamaan dengan keberhasilan ekonomi, terdapat beberapa perubahan politik dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia. Soeharto kini memanfaatkan peran para elite sipilnya, dan bukannya para elite militer, dalam memobilisasi dukungan bagi pemerintah. Para pemimpin Islam, yang pernah dianggap sebagai salah satu musuh utama rezim tersebut, kini diberi kesempatan yang lebih luas di panggung politik nasional. Pers diizinkan untuk memiliki kebebasan yang lebih besar untuk mengkritik para elite kekuasaan, termasuk anak-anak Soeharto yang sangat kuat. Para aktivis buruh dan mahasiswa diizinkan untuk menggelar berbagai demonstrasi politik asal tidak menyerukan konfrontasi langsung dengan pemerintah.
Namun semua hal baru dalam politik Orba ini tidak meyakinkan kita bahwa prinsip-prinsip dasar otoritarianisme telah ditinggalkan: prinsip-prinsip dasar politik, yang diteguhkan pada akhir 1960-an, tetap tidak berubah; hubungan-hubungan kekuasaan antara Soeharto, para perwira militernya, para teknokratnya, dan “para wakil” rakyat kurang lebih tetap sama. Seorang intelektual terkemuka Indonesia menyebut berbagai gelombang baru dalam politik Orba ini sebagai “demokratisasi pinjaman” (Budiman, 1992). Hal ini berarti bahwa berbagai gelombang baru tersebut hanya dibolehkan berkembang oleh para penguasa sejauh kepentingan utama mereka tidak tersentuh. Namun begitu mereka melihat bahwa kepentingan-kepentingan mereka terancam, mereka bisa dengan mudah menumpas berbagai gelombang ini, membungkam semua suara yang menyimpang, memberangus pers, dan menahan para mahasiswa. Pendeknya, tidak ada yang benar-benar berubah kecuali bahwa sekarang ini rezim otoriter tersebut sedang tersenyum.
Bagaimana kita menjelaskan terus bertahannya otoritarianisme Orba ini? Mengapa Orba berhasil melawan berbagai reformasi yang mendasar, seperti penghapusan berbagai larangan bagi orang-orang untuk mengadakan diskusi dan organisasi politik, perubahan dalam aturan-aturan pemilu, restrukturasi politik kepartaian, dan sebagainya? Di kalangan mereka yang mempelajari politik Indonesia, jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini pada dasarnya bisa dibedakan menjadi dua kelompok. Di satu sisi, orang-orang yang memberikan penjelasan-penjelasan struktural. Mereka menekankan berbagai variabel struktural (ekonomi, sosial, budaya), baik dalam negeri maupun internasional, sebagai faktor-faktor yang menghalangi berkem bangnya demokratisasi dalam rezim Orba tersebut. Bagi mereka, pilihan-pilihan para aktor politik dan tindakan-tindakan mereka yang diniatkan atau tidak diniatkan merupakan sesuatu yang tidak relevan (Mackie 1990; Young 1990; Robinson 1990; Budiman 1991). Di sisi lain, ada orang-orang yang menekankan peran para aktor (preferensi, pilihan, dan tindakan mereka) dalam membentuk arena politik Orba. Terus bertahannya politik Orba dianggap sebagai akibat dari tindakan-tindakan sadar para pemimpin strategisnya (Liddle 1991 dan 1992).iii
Saya di sini ingin menyatakan bahwa hal terbaik yang dapat kita lakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara teoretis eklektik, dalam pengertian sebagaimana dikatakan Kitschel (1992) bahwa kita hendaknya memadukan pendekatan struktur dan pendekatan process-driven dalam menjelaskan perubahan rezim. Namun sebelum saya masuk kedalam detail-detail penjelasan teoretis eklektik ini, kita harus mengakui bahwa baik teori struktural maupun teori yang berorientasi aktor telah memberi kita berbagai wawasan yang menarik tentang terus bertahannya rezim Orba. Mari kita lihat contoh-contoh gagasan mereka.
Variabel-variabel yang paling sering ditekankan oleh kalangan struktural adalah lemahnya kelas menengah, atau kebergantungan kaum borjuis domestik pada negara dalam mengakumulasi modal. Bagi mereka, 25 tahun pembangunan kapitalis di bawah Orba telah menciptakan suatu keadaan di mana kelas menengah tidak mampu menyatukan diri mereka dalam sebuah kekuatan politik yang kuat untuk menuntut perubahan (Tanter & Young, ed., 1990; Heryanto 1990). Kelas menengah tersebut sangat terpecah-pecah sebagai akibat dari cara pemerintah mengorganisasi perekonomian: orang-orang Cina minoritas mengontrol sebagian besar sektor-sektor ekonomi penting, dan kelas menengah pribumi terpecah-pecah menurut garis regional, keagamaan, dan patrimonial.
Variabel yang paling sering ditekankan oleh para teoretisi yang berorientasi aktor adalah kemampuan Soeharto sebagai politisi dalam memecah-belah para calon lawannya dan memberi imbalan untuk menjaga kesetiaan para pendukungnya. Di sini tindakan-tindakan sadar Soeharto pada beberapa tahun terakhir, misalnya dalam menjaga keseimbangan antara militer, kekuatan politik Islam, dan para pemimpin sipil dalam pemerintahannya, dianggap sebagai ketrampilan seorang politisi ulung dalam menjaga pusat kekuasaan di tangannya. Stabilitas politik yang dinikmati rezim tersebut dilihat sebagai dampak langsung dari langkah-langkah strategis yang dijalankan oleh Soeharto dan orang-orangnya.iv
Kebutuhan untuk menjadi eklektik muncul karena masing-masing orientasi teoretis ini tidak memadai untuk menjelaskan persoalan persistensi (atau perubahan, jika ada) dalam politik Orba. Kelemahan utama kalangan strukturalis adalah bahwa mereka sangat deterministik dalam melihat hubungan antara struktur dan tindakan politik. Bagi mereka tindakan-tindakan politik hanya merupakan akibat dari variabel-variabel struktural (posisi ekonomi kelas menengah, atau konfigurasi kekuatan-kekuatan sosio-ekonomi, atau tingkat otonomi negara vis a vis masyarakat, dll.). Sejarah, bagi kalangan strukturalis, tidak di buat oleh manusia, melainkan oleh kekuatan-kekuatan impersonal.
Meskipun benar bahwa faktor-faktor struktural penting (dan mungkin sangat penting), namun akan salah jika kita tidak memberi ruang bagi tindakan, bagi variabel-variabel kontingen yang dihamparkan oleh pilihan-pilihan yang dibuat oleh para aktor strategis, bagi langkah-langkah politik yang diniatkan maupun tidak diniatkan. Sebagai contoh, tidak ada hambatan struktural bagi Soeharto untuk memilih Jenderal Try Sutrisno dan Prof. Habibie sebagai bawahan terdekatnya dalam jajaran kekuasaan tertinggi (ia dapat memilih beberapa jenderal atau profesor lain). Pilihan ini dibuat sepenuhnya berdasarkan pertimbangannya sendiri (dampak dari pilihan ini sangat penting dalam menjaga stabilitas rezim tersebut karena hal ini memuaskan tuntutan kalangan militer maupun elemen-elemen penting dalam komunitas politik Islam).
Selain itu, dalam beberapa contoh sejarah kita tahu bahwa faktor-faktor struktural bisa diubah oleh tindakan-tindakan sadar para aktor politik. Proses demokratisasi di Korea Selatan dan Thailand pada akhir 1980-an dan awal 1990-an memperlihatkan bagaimana “kelas menengah yang lemah” mampu disatukan sebagai sebuah kekuatan yang kuat, dipimpin oleh para politisi yang cerdas dan para mahasiswa yang berani, untuk melengserkan rezim militer otoriter yang secara ekonomi berhasil. Karena itu, di Indonesia, kenyataan bahwa kelas menengah “lemah” dan terpecah, misalnya, tidak bisa diambil begitu saja sebagai satu-satunya faktor penting yang menjelaskan kegagalan untuk mengubah rezim politik yang ada. Terdapat para pemimpin (sipil dan militer) yang mungkin bisa dianggap sebagai para pembaharu (misalnya, Petisi 50, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman), namun kegagalan mereka sejauh ini dalam menggalang dukungan luas di kalangan kelas menengah untuk mereformasi sistem mungkin harus dicari sebabnya dalam cara mereka berkomunikasi dengan audiens yang lebih luas, atau dalam cara mereka mendefinisikan kepentingan rakyat, atau dalam pilihan yang mereka buat dalam memilih sekutu.
Di sisi lain, para teoretisi yang berorientasi-aktor gagal melihat bahwa, sebagaimana dikemukakan Marx, “Manusia membuat sejarah mereka, namun mereka tidak membuatnya persis sebagaimana mereka inginkan.”v Preferensi dan kepentingan para aktor politik dibentuk oleh lingkungan sosio-ekonomi dimana mereka berinteraksi satu sama lain. Tindakan-tindakan mereka terbatasi oleh lingkungan-lingkungan ini. Tentu saja mereka mereka memiliki suatu tingkat kebebasan untuk bertindak, atau mengubah lingkungan. Namun melihat tindakan-tindakan ini tanpa memahami lingkungannya (misalnya, struktur sosio-ekonomi, hubungan ekonomi internasional, lembaga
Soeharto mungkin dinilai sejarah sebagai salah satu dari orang-orang besar tersebut (karena alasan yang baik, atau buruk, atau keduanya). Tindakan-tindakannya untuk memelihara sistem tersebut sangat diperkuat oleh kenyataan bahwa perekonomian telah berhasil dijalankan oleh para teknokratnya (karena itu ia memiliki lebih banyak uang untuk membeli kesetiaan). Selain itu, UUD 1945 memberinya berbagai kemungkinan kelembagaan yang bisa ia manfaatkan untuk menciptakan berbagai rintangan yang sangat kompleks bagi kaum oposisi. Ini hanya dua contoh (kita bisa mengemukakan lebih banyak) yang mungkin meyakinkan kita bahwa untuk memahami tindakan-tindakan para aktor politik penting (dalam kasus ini, Presiden Soeharto), kita juga perlu melihat pada faktor-faktor struktural atau kelembagaan—suatu hal yang tampaknya gagal dilakukan oleh para teoretisi yang berorientasi aktor.
Pada titik ini, kita sekarang bisa masuk ke dalam masalahekl ektisisme teoretis untuk memahami secara lebih baik politik Orba. Argumen utama kami, yang diambil dari Huntington (1991), adalah bahwa stabilisasi politik maupun demokratisasi politik merupakan fenomena yang kompleks. Mereka disebabkan oleh banyak kekuatan. Sebagian dari sebab ini dihasilkan oleh faktor-faktor struktural, sebagian yang lain tidak. Karena kompleksitas ini, kerangka teoretis kita pada dasarnya bersifat “eksplanatoris”, dan tujuan kita adalah mencapai suatu deskripsi yang menyeluruh, jika perlu dengan mengorbankan sofistikasi analitis (Huntington, idem, hlm. xiii-xiv).vi
Karena itu, dalam memahami persistensi politik Orba, kita tidak harus memilih apakah hanya menggunakan variabel-variabel struktural atau non-struktural saja. Kita harus menggunakan keduanya. Kita menganalisis lembaga-lembaga politik Orba, jenis rezimnya, pembangunan ekonominya, struktur kelasnya, dan sebagainya, serta bagaimana mereka terkait satu sama lain, untuk memberi penjelasan-penjelasan struktural bagi persoalan yang sedang kita pelajari.
Dalam menjelaskan bagaimana para aktor membentuk bentuk politik yang sedang kita kaji, kita menganalisis bagaimana kepentingan-kepentingan dan tindakan-tindakan para aktor tersebut dibentuk dan ditentukan oleh faktor-faktor struktural (jenis rezim, struktur kelas, logika pembangunan ekonomi, dll.). Determinisme harus dihindari di sini: struktur ekonomi, misalnya, mungkin tidak memberi pilihan lain bagi para politisi kecuali mengikuti arahnya; namun para politisi yang mumpuni bisa melepaskan diri dari berbagai rintangan struktural dan menciptakan sejarah.
i. Para pelajar politik Indonesia sejak akhir 1970-an mencirikan Orba sebagai sebuah rezim militer-birokratis, rezim pembangunan-otoriter, atau rezim neo-patrimonial (lihat King 1982; McVey 1982). Pada dasarnya konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang rezim Orba ini menjelaskan hal yang sama: a) Pusat kekuasaan ada di tangan Soeharto yang, dengan dibantu para teknokrat dan militer, memberlakukan suatu sistem yang sangat mencekik masyarakat Indonesia untuk memajukan pembangunan ekonomi dengan caraya sendiri; b) Soeharto memerintah secara personal, dan dikelilingi oleh lingkaran-lingkaran klien yang diangkat berdasarkan hubungan patrimonial; c) Partai-partai politik diciptakan bukan untuk melayani kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan rezim itu sendiri.
ii. Selama lebih dari 20 tahun, pertumbuhan GDP negara ini tidak kurang dari 7%. Akibatnya, GDP Indonesia naik setidaknya lima kali lipat. Di wilayah reformasi sosial, kisah sukses bisa dilihat dalam kenyataan bahwa sebagian besar populasi kaum muda telah mengenyam pendidikan dasar universal; program keluarga berencana yang berjalan baik berhasil mengurangi angka kesuburan di Indonesia; swasembada dalam produksi beras tercapai pada 1989 (pada awal 1970-an negara ini adalah pengekspor beras terbesar di dunia). (Untuk ulasan terbaik tentang kisah sukses Indonesia dalam masalah-masalah ini, lihat Booth 1992).
iii. Pembagian kelompok teori menjadi teori struktural dan teori yang berorientasi-aktor ini langsung didasarkan pada pembedaan dalam teori-teori transisi demokratis yang bisa ditemukan dalam kepustakaan perbadingan politik belakangan ini (lihat Perez Diaz 1993, hlm. 26-29). Sampai tingkat tertentu Kitschelt (1992) juga menjelaskan pembedaan yang sama ketika dia menulis tentang teori-teori perubahan rezim. Penjelasan process-driven-nya harus dipahami sebagai penjelasan yang berorientasi aktor. Kita bisa melihat ungkapannya ketika ia mengulas Di Palma: “Bukan kondisi kondisi struktural, melainkan tindakan-tindakan manusia yang mencapai konsolidasi demokrasi... (hlm. 1032). Di sini faktor struktural dan tindakan manusia ditempatka dalam posisi teoretis yang berbeda.194.
iv. Contoh terbaik dari teoretisi berorientasi-aktor ini adalah Liddle (1991). Dalam sebagian besar karya-karya terbarunya tentang politik Orba setelah krisis minyak, peran kepemimpinan, kecerdikan Soeharto, dan langkah para pemimpin Islam serta langkah-tandingan dari para elite militer dianggap sebagai faktor-faktor yang paling penting yang perlu kita pelajari untuk memahami politik Orba di tahun-tahun belakangan ini.
v. Kata-kata Marx ini ada dalam The 18 th Brumaire (dalam McLellan, ed., Karl Marx: Selected Writings, 1977, hlm. 300). politik) berarti hanya mengulangi kesalahan para sejarawan “klasik”, yang berpandangan bahwa sejarah hanya hasil tindakan orang-orang besar.
vi. Pilihan antara kekomprehensifan dan sofistikasi analitis ini dilihat Huntington sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Ia menyatakan bahwa kompleksitas realitas-lah yang mendorong para teoretisi politik pada pertukaran ini. Kitschelt juga menyinggung persoalan ini (1992, hlm. 1034). Ia mengkritik Huntington karena dianggap tidak bisa ke luar dari pilihan ini. Namun ia tidak menjelaskan bagaimana ini terjadi pada Huntington.
You must be logged in to post a comment.