Teori dan Kerusuhan di Dua Kota

Gambar oleh Layers dari Pixabay

KERUSUHAN DI TASIKMALAYA dan Situbondo sudah selayaknya membuat kita menarik napas dalam-dalam. Dalam peristiwa ini ribuan orang menggelar “pengadilan jalanan” dan—meminjam kata Kiai Makmun, tokoh pesantren di Tasikmalaya—mengumbar nafsu angkara murka serta berkelakuan seperti binatang. Selama beberapa jam di dua kota ini situasi sosial berubah menjadi “situasi alamiah” ala Hobbes: manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Mengapa kerusuhan “primitif” ini muncul berturut-turut justru pada saat pertumbuhan ekonomi berlangsung pesat? Apakah kerusuhan ini menandakan memburuknya hubungan etno-religius di negeri kita? Seperti terbaca di berbagai media, jawaban paling populer yang diberikan para pengamat, aktivis, dan pejabat terhadap kedua pertanyaan ini, sederhananya, dapat disebut sebagai teori kesenjangan.

Menurut teori ini, akar persoalan kerusuhan sosial di dua kota itu adalah kesenjangan sosial-ekonomi yang makin melebar. Pembangunan ekonomi di bawah Orde Baru memang sangat berhasil. Tapi, menurut teori ini, hasil pembangunan hanya dinikmati segelintir kalangan. Mayoritas masyarakat hanya mendapat tetesannya.

Dalam teori ini, “mayoritas” yang tersisih itu adalah umat Islam dan pribumi, sedangkan yang “segelintir kalangan” adalah kaum non-Islam dan non-pri. Ini berarti kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar itu berimpitan dengan perbedaan etnik dan religius. Perimpitan semacam inilah yang melahirkan potensi kecemburuan sosial yang sangat tajam. Jika potensi demikian sudah muncul, maka kita tinggal mencari faktor pemicu kecil bagi lahirnya kerusuhan besar. Dengan demikian, bagi teori ini, nuansa dan pengungkapan etno-religius dari kerusuhan di Situbondo dan Tasikmalaya hanyalah bentuk luarnya. Akar persoalannya terletak pada realitas “obyektif”: pada kondisi sosial-ekonomi kita yang makin timpang.

Buat saya, teori ini memang cukup mudah dimengerti sesuai dengan popular sentiment yang ada dalam masyarakat kita, karena itu sangat gampang menjadi teori yang dominan. Tapi justru karena itu pula kita harus hati-hati dan melontarkan beberapa pertanyaan. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat saya ragu atas teori ini.

Pertama, kalau teori ini benar, maka kita bisa bertanya: kenapa kerusuhan itu justru terjadi di Situbondo dan Tasikmalaya? Kenapa bukan di Jakarta dan Surabaya? Di dua kota ini, terlebih Jakarta, ekses-ekses ketimpangan hidup berdampingan sangat ekstrem. Kalau dibandingkan dengan Jakarta, maka Tasikmalaya, dengan cuaca pegunungannya yang sejuk, mungkin dapat disebut sebagai civitas dei-nya Santo Agustinus, kota utopia yang bersih dari keserakahan. Sebaliknya, Jakarta adalah “surganya” ketimpangan dan keberlebihan dalam segala hal. Singkatnya, kalau teori kesenjangan benar, maka Jakarta mestinya sudah lama porak-poranda dilanda kerusuhan massa.

Kedua, teori ini bersandar pada sebuah asumsi yang akhir-akhir ini jarang dipertanyakan lagi, yaitu bahwa kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat kita meningkat tajam. Dari fakta yang ada, asumsi semacam ini patut diragukan, atau paling tidak diperdebatkan lebih-jauh. Kalau kita amati kecenderungan dalam Index Gini sejak 1969 hingga 1993, angka-angka yang tampak tak banyak berubah. Pada 1969-1970, misalnya, rasionya 0,34%; pada 1981 0,33%, dan pada 1993 0,34%. Ini berarti, dari ukuran tertentu (dalam hal ini indeks pengeluaran rumahtangga dari hasil survei nasional), dalam realitas ketimpangan kita tak terjadi perubahan berarti selama 20 tahun ini. Kita tak lebih timpang, atau lebih merata, akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Tentu, kalau memakai ukuran yang berbeda, kesimpulan berbeda dapat pula dimunculkan. Kita mungkin akan tiba pada angka-angka yang sedikit lebih kecil atau sedikit lebih besar. Namun saya kira akan sangat sulit mencari dukungan faktual dan dapat diuji secara akademis bagi asumsi bahwa realitas ketimpangan kita “meningkat tajam”.

Dua alasan ini memang belum memadai untuk menolak samasekali teori kesenjangan itu. Yang penting adalah, untuk memahami peristiwa penting seperti di Situbondo dan Tasikmalaya itu, kita jangan terpaku sepenuhnya pada sebuah penjelasan yang tampaknya “sudah benar”. Kita juga harus membuka diri pada teori yang berbeda, bahkan mungkin berlawanan dengan apa yang ingin kita percayai.

Dalam hal ini teori lain yang patut dipikirkan adalah teori yang lebih bersifat psikologis-kultural. Teori ini menerima kenyataan babwa memang ketegangan etno-religius masih hidup subur dalam masyarakat kita. Kita masih memandang manusia lain berdasarkan asal-usulnya, kelompoknya, sukunya, dan agamanya. Kita belum memandang seseorang sebagai individu, sebagai si Ruly atau si Tuti, melainkan sebagai “keturunan asing”, atau “Islam”, atau “pribumi”. Lebih jauh lagi, akhirakhir ini melalui kebijakan publik dalam beberapa bidang kehidupan (misalnya perkawinan dan distribusi ekonomi), kita cenderung mendorong terjadinya proses institusionalisasi bagi cara pandang semacam ini.

Bagi teori ini, dengan kata lain, akar persoalan kerusuhan sosial seperti di Situbondo dan Tasikmalaya harus dicari pada dimensi yang lebih bersifat subyektif. Dalam hal ini kita harus melihat bagaimana pendidikan civic diberikan dalam bentuk indoktrinasi yang membosankan sejak SD hingga universitas, dalam dogmatisme pendidikan agama, dalam retorika yang digunakan pemimpin, dalam pencarian legitimasi bagi sebuah negara nasional, dan masih banyak lagi.

Semua ini tentu saja tak harus benar dan relevan. Mungkin setelah kita teliti dan diskusikan, penjelasan lain akan muncul dan secara empiris lebih meyakinkan. Karena itu pula saat ini kita sangat membutuhkan perdebatan dan diskusi-diskusi publik yang terbuka terhadap berbagai persoalan mendasar dalam masyarakat kita. Kita harus mengerti apa yang terjadi, dan dari situ kita baru bisa mengambil langkah untuk mengatasinya.

Kalau semua ini tak kita lakukan, haruskah kita menunggu peristiwa-perisiwa lain yang lebih besar, yang bisa merontokkan dasar-dasar kebangsaan kita?

11 Januari 1997

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.