Tiga Bulan Devisit Indonesia

Gambar oleh Jan Vašek dari Pixabay

SETELAH hampir tiga bulan pencanangan Visit Indonesia 2008, apa yang terjadi dengan bisnis turisme kita? Hanya dua hal: tetap dikumandangkannya slogan kosong itu dan iklan televisi yang menjadikan Menteri Jero Wacik sebagai 'pemandu' wisata Indonesia. Sebuah iklan yang sama sekali tak menarik.

Meski belum disurvei, mudah diduga bahwa kedua senjata itu tumpul. Wisatawan asing tak kunjung muncul. Menteri Wacik tak jua menyadari logika sederhana bahwa slogan dan iklan hanyalah perangkat tambahan untuk menarik wisatawan.

Siapa pun tahu bahwa yang lebih penting adalah penunjang konkret slogan dan iklan itu, yaitu tersedianya infrastruktur dan lokasi-lokasi nyata pemikat turis. Dan dalam hal ini Menteri Wacik tak melakukan apa-apa. Ia bersandar pada ilusi dangkal bahwa para wisatawan sedemikian dungunya, sehingga hanya dengan dijejali slogan dan iklan mereka akan berduyun datang ke negeri kita.

Tapi Menteri Wacik hanya melanjutkan tradisi pengabaian total atas industri wisata kita. Infrastruktur turisme memang tak pernah dibangun. Satu-satunya upaya besar pemerintah dalam 30 tahun terakhir adalah pembangunan kawasan baru Nusa Dua Bali. Lokasi-lokasi lama, yang mengandung potensi luar biasa, ditelantarkan.

'Kota Tua' di Jakarta hanya disentuh secara tambal sulam. Itu pun oleh inisiatif swasta pencinta warisan arkeologis. Padahal kawasan itu menyimpan 800-an situs yang bisa menjadi kota warisan kolonial terbesar di dunia.

Penelantaran seperti sekarang, dengan situs-situs penting yang keindahan, keunikan dan pesonanya disia-siakan dan kemacetan lalu-lintas yang memutusasakan, adalah jaminan bahwa tidak akan ada seorang pun turis yang mau mampir.

Jalan panjang-lurus Malioboro Yogyakarta pun makin kumuh – juga dengan kemacetan yang kian parah. Jika ditata dengan benar, dibebaskan dari kendaraan bermotor, dan ribuan pedagang kaki-limanya dirapikan, Malioboro pasti mempesona.

Lihatlah, di ujung jalan itu, setelah melewati Gedung Agung dan beberapa bangunan kolonial yang indah dan bersejarah, pejalan kaki disambut oleh keraton dan alun-alun – tak kalah dari Champs Elysee di Paris.

Masih ada beberapa lagi lokasi turisme yang memikat di kota-kota Indonesia, dengan karakter khas masing-masing, sehingga wisatawan punya variasi pilihan yang kaya. Mereka bisa dibujuk untuk mengunjungi semuanya, bukan hanya mampir di Bali.

Surabaya bisa dijadikan kota wisata kuliner; Toraja atraktif dengan budaya lokalnya, termasuk upacara pemakaman yang menakjubkan. Toba masih mungkin dijadikan ajang ski, memancing, berperahu, dan lain-lain.

Di ujung selatan, antara Sumatera Selatan dan Lampung, ratusan hektar Danau Ranau belum disentuh. Musi berpotensi menjadi arena wisata sungai terbaik di dunia – Visit Musi tahun ini pun dikerjakan tidak maksimal. Lombok tentu bisa menjadi 'second line' Bali. Wisata hutan Kalimantan – hutan tropis terbesar di Asia dan kedua di dunia – sama sekali belum dipikirkan.

Semuanya memang butuh anggaran raksasa dan komitmen teguh. Infrastruktur besar-besaran harus dibangun untuk memudahkan orang datang melalui berbagai pintu – laut, darat, udara. Hotel dan fasilitas-fasilitas penunjang berstandar tinggi mutlak dibangun, termasuk toilet yang beradab.

Berapa dana yang dibutuhkan? Alistair G. Spiers, ketua PATA seksi Indonesia, menaksir: US$ 50 miliar. Ia, yang dengan jengkel menulis berdasarkan '30 tahun pengamatan, perenungan dan frustrasi' (Garuda, Maret 2008), meminta Bank Dunia menyediakan megakredit itu.

Kita memang hanya bisa prihatin, bahkan marah, pada pengabaian yang keterlaluan ini. Sementara Singapura, yang potensinya tak seujung kuku Indonesia, setiap hari menawarkan atraksi baru, lewat iklan-iklan agresif yang ampuh menarik turis, termasuk puluhan ribu dari Indonesia.

Malaysia merebut peluang dengan 'Truly Asia'-nya. Bahkan 'Incredib!e India' mulai mencolok di media internasional. Iklan Visit Indonesia 2008 hanya sekali-sekali muncul di TV asing secara datar. Juga di satu-dua majalah asing – dengan desain buruk, tata bahasa Inggris keliru, dan selling point tak jelas.

Menteri Jero Wacik lebih baik berpikir sekeras-kerasnya daripada muncul sebagai model iklan turisme kita. Dan jika ia pernah menengok iklan negara-negara lain, ia akan tahu: tak satu pun yang menampilkan menteri sebagai model.

Sebab semua orang tahu: penampilan seorang menteri tak ada hubungannya dengan industri turisme itu sendiri – kalaupun bukan malah berdampak negatif.

Hamid Basyaib
Direktur Program Freedom Institute

sumber: inilah.com
03/19/2008 03:19:10

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.