Tiga Faktor Penyebab SI MPR

Gambar oleh S. Hermann & F. Richter dari Pixabay

SIDANG ISTIMEWA (SI) MPR tidak terjadi begitu saja. Ia terjadi bukan karena para anggota partai di DPR ingin menjatuhkan seorang presiden, bukan pula karena Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan sudah patah arang dengan seseorang yang sejak awal dikenal sebagai “sahabat politik” mereka.

Hal-hal itu memang ikut memberi warna pada proses politik yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Namun, faktor-faktor penyebab yang lebih fundamental, causa prima SI MPR, harus dicari di tempat lain.

Beberapa ilmuwan politik telah mencoba menunjukkan bahwa prahara politik yang kita alami selama periode pasca-Soeharto ini pada dasarnya bersumber pada kelemahan-kelemahan mendasar yang ada pada konstitusi kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Bagi pandangan ini, terjadinya SI MPR hanyalah salah satu dimensi saja dari prahara itu, sebuah peristiwa politik yang mungkin tak terhindarkan mengingat begitu tak jelas dan kelirunya beberapa pasal yang ada dalam konstitusi kita.

Pandangan semacam ini dalam beberapa hal benar. Konstitusi kita memang jauh dari sempurna. Salah satu sebabnya adalah karena ia dirumuskan dan ditulis dalam situasi yang menjepit dan tergesa-gesa oleh Panitia PersiapanKemerdekaan Indonesia pada Juni 1945. Rentang waktu yang digunakan dalam proses penulisan kurang lebih hanya tiga minggu. Bagaimana mungkin kita merumuskan hukum-hukum dasar bagi suatu bangsa yang besar dan kompleks hanya dalam 20 hari?

Bandingkanlah hal itu dengan proses perumusan dan penulisan konstitusi Amerika Serikat. Setelah republik modern pertama dalam sejarah ini memproklamasikan kemerdekaannya pada 4 Juli 1776, ratifkasi konstitusi baru terjadi empat belas tahun kemudian. Dan dalam proses perumusan yang panjang ini terjadi banyak perdebatan yang sangat memukau di antara para founding fathers negeri itu, seperti Thomas Jefferson dan James Madison. Selama bertahun-tahun, mereka berdebat, berkirim surat, mengadu argumen tentang konsep kekuasaan, tentang hal-hal yang paling dasar dari sebuah masyarakat modern, dan bentuk-bentuk pemerintahan yang paling baik untuk mengaturnya. Hasil-hasil perdebatan inilah, salah satunya, yang mewarnai konstitusi AS.

Tentu, selain soal ketergesaan, kekurangan-kekurangan yang ada dalam UUD 1945 juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti paham-paham besar yang populer di kalangan tokoh-tokoh bangsa kita waktu itu, minimnya ahli hukum tata negara yang betul-betul piawai, pengaruh kolonialisme Jepang dan Belanda, dan sebagainya. Namun, apapun sebabnya, kekurangan-kekurangan itu bersifat mendasar, riil, dan jika digunakan untuk betul-betul mengatur sebuah masyarakat modern yang kompleks, akibatnya akan negatif, untuk menggunakan sebuah kata yang agak netral.

Contohnya adalah pada aturan-aturan yang menentukan posisi lembaga-lembaga negara yang utama seperti MPR, DPR, dan Presiden. Dalam satu hal, sebagian kalangan bisa menafsirkan bahwa hubungan yang ada di antara ketiga lembaga ini serupa dengan hubungan-hubungan yang umumnya ada dalam sistem presidensial, di mana seorang presiden memainkan peran yang sangat dominan dalam memutar roda pemerintahan. Dalam hal lain lagi, sebagian kalangan yang berbeda bisa menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang dimaksudkan oleh konstitusi kita sesungguhnya bersifat parlementer dalam cara kerjanya.

Perbedaan-perbedaan penafsiran semacam itulah yang membuka ketidakpastian dan mendorong para aktor di panggung politik untuk melakukan perseteruan tanpa pola yang jelas, serta untuk mengambil langkah-langkah yang sering mengejutkan. Salah satu faktor mengapa Presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, sering mengambil langkah-langkah soliter yang terkesan tidak mempedulikan para politisi di DPR mungkin bisa dijelaskan dari sudut ini: dia menyangka dan menafsirkan sendiri bahwa posisinya sangat kuat, sebagaimana layaknya seorang chief executive dalam suatu sistem presidensial.

Ruang ketidakpastian dan kelemahan dalam hukum-hukum dasar itulah yang pada dasarnya menggiring para politisi, baik yang berada di partai maupun di dunia pemerintahan, ke dalam sebuah situasi yang kembangan-kembangannya telah kita saksikan dalam setahun terakhir. Ujung dari semua ini sekarang sudah memasuki daerah pertaruhan “hidup-mati” dalam wujudnya yang terlembaga, yaitu penyelenggaraan SI MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid.

Selain faktor konstitusional seperti itu, terjadinya SI MPR juga disebabkan oleh hadirnya dua faktor lain, yaitu cair dan len­­­tur­­nya konfgurasi politik kita, serta kelemahan Abdurrahman Wahid sendiri sebagai seorang pemimpin pemerintahan modern.

Dalam soal konfgurasi politik, semua persoalan yang ada dapat dilihat dengan jelas pada komposisi perolehan suara partai-partai besar dalam Pemilu 1999 yang silam. Komposisi ini bersifat sedemikian rupa sehingga tidak ada satu partai pun yang bisa mendominasi arena politik. Artinya, para politisi, baik yang berada di parlemen maupun di lembaga eksekutif, harus melakukan tawar-menawar terus-menerus, sebuah hal yang tentu saja diperburuk oleh beberapa ketidakpastian yang ada dalam konstitusi kita mengenai batas-batas serta kewajiban-kewajiban yang harus ada dalam proses semacam ini.

Sebenarnya, untuk sementara waktu kelemahan semacam ini mungkin bisa diatasi jika muncul seorang pemimpin atau politisi yang tangkas, populer, serta pandai memanfaatkan peluang untuk membangun konsensus dan dukungan politik terhadapnya. Pemimpin semacam ini, dengan segala sumberdaya yang tersedia, misalnya dengan memanfaatkan posisi eksekutif yang memiliki peluang-peluang khusus untuk memerintah, bisa memperkecil dampak negatif dari cairnya hubungan-hubungan yang ada dalam arena politik.

Itulah yang diharapkan dari Abdurrahman Wahid saat ia diangkat sebagai presiden, lewat sebuah proses pemilihan demokratis yang mengalahkan Megawati, Ketua PDI-P yang waktu itu oleh sebagian kalangan dianggap terlalu bersebelahan dengan kelompok Islam. Sebagai Pemimpin NU, organisasi Islam terbesar di Tanah Air, ia dikenal sangat toleran, seorang pluralis yang tumbuh dari tradisi pesantren yang pekat. Sebagai salah satu komentator persoalan-persoalan sosial budaya yang terkemuka, ia dikenal cerdas dan jenaka. Sebagai politisi yang harus mengarungi berbagai karang politik Orde Baru, ia diakui sebagai tokoh yang pandai berkelit sambil sesekali menggigit.

Singkatnya, Abdurrahman Wahid naik ke tampuk kekuasaan dengan berbagai harapan besar dan dukungan yang luas dari masyarakat pada umumnya. Di kalangan pers asing pun, nama Abdurrahman Wahid tidak kurang harumnya.

Sayangnya, sejarah membuktikan bahwa harapan itu hanya sekadar harapan. Sebagai pemimpin sebuah organisasi pemerintahan modern yang bernama Negara Republik Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid terlalu sering mengacaukan banyak hal yang tidak semestinya terjadi. Ia lupa pada batas-batas yang harus dijaga sepenuhnya oleh seorang pemimpin yang bertanggungjawab, seperti batas antara apa yang publik dan yang privat, apa yang rasional dan yang irasional, apa yang boleh dan tidak boleh dijadikan alat dalam percaturan kekuasaan.

Sama sedihnya, ia juga ternyata melupakan begitu saja sebuah dalil primer dalam politik: kalau bisa memperbanyak kawan, kenapa menambah musuh? Yang terlihat pada Abdurrahman Wahid dalam setahun terakhir ini adalah upayanya, yang hampir sepenuhnya tak terpahami, untuk mencari musuh terus-menerus. Bahkan, banyak pihak yang semula menjadi pendukung antusiasnya terdesak, dipojokkan, dan kemudian mengambil jalan yang samasekali berseberangan dengannya, atau malah menjadi musuh politiknya yang fanatik.

Hasil dari semua itulah yang kita lihat sekarang. Selama setahun sistem politik kita yang masih rentan ini mengolah faktor-faktor yang saya jelaskan di atas dengan berbagai guncangan dan prosesnya sendiri. Sebagian dari guncangan ini bisa diramalkan sebelumnya, sebagian lagi tidak.

Hal yang terakhir ini misalnya terlihat pada betapa terkejutnya kita melihat gejala yang sering disebut sebagai the fading away of the state, memudarnya otoritas negara dan pemerintahan dalam banyak interaksi kemasyarakatan. Kita masih memiliki pemerintah secara formal, tetapi dalam banyak urusan di mana ia sangat dibutuhkan (Ambon, Sampit, Poso, dan sebagainya), ia menghilang dan hampir menjadi aktor yang tidak relevan kehadirannya, kalau tidak malah mempersulit situasi yang sudah sulit.

Sekarang ketiga faktor itu bertemu sedemikian rupa sehingga “metode” pengolahan yang tersisa adalah Sidang Istimewa MPR, sebuah penyelesaian kelembagaan yang kita harapkan berlangsung secara damai dan tertib.

Max Weber pernah berkata para demagog dan para peramal tidak mendapat tempat dalam dunia ilmu sosial. Kita memang tidak pernah bisa meramalkan masa depan. Namun, tentu tidak keliru jika kita berharap bahwa SI MPR akan mengantarkan datangnya sebuah pemerintahan baru yang lebih efektif dan mampu membantu masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Semoga!

22 Juli 2001

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.